Merasa mendapat momentum, Iran sendiri berambisi mengekspor spirit dan ideologi revolusinya ke negara-negara lain di Timur Tengah, termasuk Saudi. Seruan-seruan anti dan penggulingan “Dinasti Saudi-Wahabi” dan dukungan terhadap Republik Islam Iran pun ditebar melalui pamflet, kaset tape, dan radio. Salah satu tokoh Syiah Saudi dan dianggap sebagai “perpanjangan tangan Iran”—yang gencar mengkritik pemerintah adalah Nimr Baqr al-Nimr.
Kekerasan terhadap Syiah pun beberapa kali meledak yang berbuntut pada pemenjaraan dan penangkapan tokoh-tokoh Syiah yang di kemudian hari dibebaskan oleh Raja Fahd setelah naik tahta pada 1982. Hingga kini, Saudi dan Iran sama-sama berambisi menjadi “penguasa regional” Timur Tengah yang berbuntut pada perang di berbagai tempat. Perang di Yaman, Syria, atau Irak hanyalah contoh kecil dari “adu dominasi” dua negara ini.
Meskipun relasi harmoni kedua kelompok ini sering diusik oleh kepentingan politik, masyarakat akar rumput Sunni dan Syiah sering kali tidak memperdulikannya. Mereka biasa saja bergaul membaur dan bersenda gurau di pasar-pasar tradisional, kedai kopi, warung teh, rumah makan, dan ruang-ruang publik lain.
Di kawasan Al-Mobarroz, Ahsa, warga Sunni dan Syiah bahkan membangun masjid-masjid dan rumah-rumah mereka berjejer-jejer. Sejumlah warga dan tokoh masyarakat setempat juga menuturkan kepada saya kalau mereka sudah biasa bekerja sama dalam berbagai urusan sosial-kemasyarakatan.
Mereka juga saling membantu dan mengunjungi acara pengajian dan keagamaan yang diadakan masing-masing kelompok serta tidak sedikit dari mereka yang mempraktekkan kawin-mawin, sebuah traidisi yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Perbedaan pandangan keagamaan dan konflik elit tidak menghalangi mereka untuk menjalin persaudaraan dan mewujudkan perdamaian.
[Sumanto Al Qurtuby]
Profesor antropologi dan sosiologi di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University