Sumanto Al Qurtuby: Relasi Sunni-Syiah di Arab Saudi

Upaya pembangunan perdamaian, relasi positif, dan rekonsiliasi Sunni-Syiah di Saudi—dan juga negara-negara lain di Arab dan Timur Tengah—bukanlah perkara mudah mengingat perseteruan kedua kelompok Islam ini sudah “mengerak” dan berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Syiah juga memiliki sejarah kelam di Arabia. Sejarah dan asal-usul Syiah di kawasan ini sering dikaitkan dengan sekte Qaramitah, sebuah kelompok agama sinkretik yang memadukan elemen-elemen Syiah Ismailiyah dengan mistisisme Persia, yang berpusat di al-Ahsa (Hasa) di Provinsi Ash-Syarqiyah.

Pada 899 M, kelompok ini pernah mendirikan sebuah negara utopis berbasis agama. Sekte vegetarian ini—karenanya sering disebut al-Baqliyyah—juga pernah melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah. Pemimpin sekte ini, Abu Tahir al-Jannabi, pada tahun 930, pernah memimpin pengepungan kota Makah, mencuri dan memindahkan Hajar Aswad ke al-Ahsa, serta mengotori sumur Zamzam dengan tumpukan mayat.

Sekte Qaramitah sudah tenggelam dalam limbo sejarah. Kaum Syiah masa kini yang menempati Saudi adalah pengikut Imamiyah (Itsna Ashariyah) sebagai mayoritas yang kebanyakan tinggal di Provinsi Ash-Syarqiyah di ujung timur Saudi, khususnya Ahsa, Qatif, Khobar, dan Dammam yang merupakan daerah kaya minyak dan pusat industri.

Ada juga pengikut Syiah Imamiyah di Madinah yang menamakan diri Nakhawila. Pengikut Syiah lain, seperti Zaidiyah dan Ismailiyah, kebanyakan tinggal di Provinsi Najran di Saudi selatan yang berbatasan dengan Yaman. Tidak ada data statistik resmi tentang jumlah kaum Syiah di Saudi tetapi sejumlah pengamat memperkirakan sekitar 10% dari total warga negara Saudi yang kini berjumlah sekitar 20 juta jiwa (ditambah sekitar 10 juta kaum migran).

Mayoritas penduduk Saudi adalah pengikut Sunni non-Wahabi yang tersebar hampir merata di berbagai kawasan. Sementara itu pengikut Wahabi sebagian besar hanya terkonsentrasi di Provinsi Riyadh dan Qasim di Saudi bagian tengah.

Meskipun sekte Qaramitah yang brutal itu sudah menjadi sejarah masa lalu, tetapi memori masyarakat Islam Sunni modern di Saudi terhadap sejarah gelap sempalan Syiah Ismailiyah ini masih begitu kuat sekuat memori kaum Syiah kontemporer atas tragedi pembantaian Husein bin Ali oleh Khalifah Yazid I di Padang Karbala pada 680 M.

Sejak Perang Karbala itu, kecurigaan, ketegangan, konflik, dan kekerasan antara pengikut Sunni dan Syiah terus berlanjut hingga berdirinya Kerajaan Saudi modern pada tahun 1932. Tetapi satu hal yang penting untuk dicatat bahwa perseteruan dan perpecahan umat Islam ke dalam Sunni dan Syiah itu semula berakar pada konflik politik-kekuasaan, bukan teologi-keagamaan.

Memang perseteruan politik-kekuasaanlah yang membuat relasi kedua kelompok ini terus menegang dan meruncing. Dalam konteks sejarah Saudi modern, meskipun Ahsa sebagai salah satu basis Syiah sudah ditaklukkan oleh tentara Saudi sejak 1913, ketegangan dengan kelompok ini meruncing sejak Imam Khumaini sukses memimpin Revolusi Islam Iran dan menggulingkan Shah Pahlevi pada tahun 1979.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *