Aksi terorisme diawali dan berkembang dari sebuah ideologi radikal yang kemudian dipicu dengan beberapa faktor seperti ekonomi, politik sampai psikologi . Ideologi radikal terorisme adalah suatu pemahaman yang membolehkan penggunaan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan terkait politik, ekonomi, maupun hal lain yang berakibat pada terciptanya rasa takut yang meluas kepada masyarakat atau jatuhnya korban jiwa maupun materi yang bersifat massal (BNPT, 2013). Ideologi ini secara tegas menekankan pada penggunaan kekerasan yang notabene bertentangan dengan pemahaman ajaran agama manapun di seluruh muka bumi yang pada hakikatnya senantiasa membawa kedamaian dan keselamatan bagi sesama dan antar pemeluk agama lainnya.Sehingga tidak tepat apabila kita melakukan justifikasi kepada ajaran maupun lembaga pendidikan keagamaan tertentu sebagai tempat regenerasi kelompok teroris.
Terorisme di Indonesia memiliki spektrum motif yang beragam. Motif “perjuangan” seringkali beririsan dengan motif ekonomi dan motif “balas dendam” kepada aparat pemerintah. Aksi ini pun mengatasnamakan paham ajaran agama tertentu agar para pelaku yang telah dicuci otaknya merasa melakukan suatu perbuatan yang suci. Motif mengatasnamakan agama tersebut tidak tepat karena memaksakan kehendak dan menggunakan kekerasan.
Penggunaan kekerasan (teror) atas dasar apapun adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama manapun. Penganut ajaran agama yang baik tentunya setuju tidak ada agama manapun yang memperbolehkan tindakan kekerasan dan melukai sesama. Sehingga aksi terorisme dengan mengatasnamakan ajaran agama tertentu tidak tepat, tidak adil dan justru mengancam kerukunan antar umat beragama di Indonesia yang terlahir sebagai suatu bangsa yang majemuk.
Banyak faktor yang bertanggung jawab atas kemunculan gerakan terorisme di masyarakat Indonesia. Perlu diketahui bahwa kecenderungan motivasi dan faktor pendukung (trigger) dari aksi terorisme yang terjadi lebih dilatarbelakangi oleh politik daripada agama. Hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan aksi terorisme yang terkait dengan kekacauan sistem ekonomi, sosial, dan politik pada awal masa reformasi. Kurangnya ketegasan hukum merupakan kunci faktor bagi perkembangan kelompok radikal untuk membuktikan eksistensi mereka, melalui bentuk kekerasan dan aksi terornya yang mengatasnamakan interpretasi terhadap ajaran agama tertentu.
Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif, dan gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Terorisme di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan politik di Indonesia, karena dua ritme sejarah ini selalu berjalan berdampingan. Sejak proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang, aksi terorisme di Indonesia semakin variatif baik dalam hal motif, modus, maupun polanya. Munculnya kelompok-kelompok radikal yang berbuntut pada aksi radikal terorisme berawal dari terbentuknya organisasi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Organisasi ini dideklarasikan tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat.
Di masa Orde Lama, ancaman terorisme muncul dari gerakan lokal yang menentang pemerintahan baru, Soekarno. Dua gerakan subversive yang sangat terkenal adalah gerakan NII dan DI/TII (1949), Kahar Muzakar (1950-1962) dan pemberontakan Daud Beureuh (1953-1962). DI/TII mempunyai misi utama untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dengan memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Petualangan Kartosuwirjo dihentikan oleh operasi militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 1960an, namun beberapa kader dari anggota DI/TII yang berhasil lolos tetap aktif meneruskan perjuangan Kartosuwirjo. Pasca tewasnya Kartosuwirjo, Teuku Daud Bereuh dari Aceh menjadi penggantinya, namun pada awal 1977 terjadi penangkapan kembali tokoh-tokoh DI. Di era selanjutnya, kepemimpinan gerakan ini dipegang oleh orang-orang muda Darul Islam Jawa Tengah. Mereka adalah murid-murid Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang merupakan penganut paham Salafy Jihadisme.
Paham salafy didefinisikan sebagai paham yang menafsirkan ayat secara tekstual sehingga cenderung radikal dan dipelajari ketika Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mempelajari ilmu Agama di Afghanistan. Di sinilah awal masalah kelompok radikal dimana Salafy Jihadisme dijadikan sebagai mazhab baru dalam pemahaman keagamaan orang-orang DI/TII. Adopsi pemahaman baru ini menimbulkan masalah baru karena terdapat perbedaan pemahaman. Abdullah Sungkar yang mengkritik Ajengan Masduki, Imam DI saat itu yang juga penganut Islam tradisional serta penganut tahriqat.
Pemahaman Imam DI ini dianggap sesat. Abdullah Sungkar memilih berpisah dan mendirikan Jama’ah Islamiyah (JI) pada 1 Januari 1993 dengan mengadopsi ideology Salafy Jihadisme. Kemudian JI menjadi organisasi teroris yang mempunyai tujuan untuk mengubah Indonesia menjadi negara Islam dan kemudian menciptakan Pan-Islamis di kawasan Asia Tenggara.
Dalam perkembangan sejarah kelompok radikal di Indonesia, terdapat beberapa kelompok radikal yang memang kontra terhadap terbentuknya NKRI, kelompok-kelompok inilah yang menjadi cikal bakal berkembangnya terorisme di Indonesia. Dalam perkembangannya, kelompok ini dibagi menjadi tiga kategori, yaitu; Pertama, kelompok milisi; Kedua, kelompok separatis; ketiga, kelompok radikal teroris. Kelompok radikal milisi adalah kelompok radikal yang terlibat dalam konflik-konflik sosial seperti di Maluku dan Poso, namun kelompok ini tidak menolak adanya NKRI. Contoh kelompok ini adalah Laskar Jihad, Laskar Mujahidin, dan Laskar Jundullah.
Berbeda dengan kelompok radikal separatis, kelompok ini mempunyai tujuan utama untuk memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara sendiri, contoh kelompok ini adalah RMS, GAM, DI/TII dan OPM. Sementara kelompok radikal teroris merupakan kelompok yang mengusung gagasan ideologi radikal yang digunakan sebagai alasan dalam tindakan terorisme, contohnya antara lain adalah JI.
Aksi teror dalam bentuk ancaman terhadap kedaulatan NKRI dan pemerintah telah dimulai sejak tahun pada awal kemerdekaan. Pada masa orde lama ketika Ir. Soekarno menjadi Presiden RI pertama, Ancaman teror muncul dalam berbagai bentuk pemberontakan serta gerakan-gerakan separatis. Gerakan separatis umumnya melakukan serangan langsung terhadap pemerintah pusat, seperti sabotase, penculikan dan tindakan-tindakan teror lainya. Aksi-aksi ini dilakukan oleh organisasi seperti PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi yang dilakukan berorientasi pada penggulingan pemerintah yang sah, mengingat kondisi politik yang belum stabil di masa itu.
Berlanjut di zaman orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, aksi teror justru mengalami peningkatan. Di era ini terjadi perubahan secara menyeluruh di berbagai bidang, terutama ekonomi dan politik. Stabilitas politik diutamakan dengan penyederhanaan sistem kepartaian sebanyak 3 (tiga) parpol. Di bawah kepemimpinan yang represif ternyata gerakan-gerakan Islam radikal tumbuh dengan tujuan melawan kekuasaan Soeaharto. Jenis teror yang mendominasi pada masa ini adalah ancaman pemboman, dengan beberapa insiden pembajakan pesawat. Seperti yang terjadi peristiwa Cicendo (1981), Teror Warman (1981), Teror Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).
Memasuki masa reformasi ketika pemerintahan Soeharto dipaksa mundur, ancaman teror semakin meningkat. Terbukanya kran kebebasan dan demokratisasi di berbagai aspek mendorong beberapa aktifis jihadis yang pernah lari ke Malaysia, seperti Abdullah Sungkar and Abu Bakar Ba’asyir pada era 1980-an dan berlatih di Afganistan (1988-1990an) kembali ke Indonesia. Rangkaian peristiwa teror dalam bentuk bom menjadi ancaman baru, hal ini dimulai dengan peristiwa bom masjid Istiqlal (1999).
Pada era reformasi di bawah kepemimpinan Prof Dr. Baharudin Jusuf Habibie, demokratisasi, tranparansi serta kebebasan di berbagai bidang telah bergulir dan memunculkan euforia pada rakyat Indonesia. Dalam kondisi ini masyarakat semakin berani mengemukakan pendapat, termasuk kelompok Islam radikal. Aksi teror terjadi di berbagai tempat, salah satunya konflik Poso dan Maluku yang meletus pada akhir tahun 1990an. Konflik ini dipicu adanya gap ekonomi antar masyarakat dan perebutan kekuasaan politik, tetapi kemudian berkembang menjadi konflik yang menggunakan atribut agama, khususnya antara kelompok Islam dan Kristen.
Selanjutnya di masa kepemimpinan Gus Dur sejak tahun 1999 sampai 2001 terjadi 15 kali aksi terror. Diantaranya adalah Bom BEJ Jakarta (2000), Bom Kedubes Filipina (2000) Bom Gereja Medan (2000), peristiwa Bom Atrium (2001). Di masa kepemimpinan Megawati terjadi 18 kali dan yang paling signifikan adalah Bom Bali I tahun 2002. Di masa kepemimpinan SBY jilid 1 (2004-2009) terdapat 8 kasus teror menonjol dan kepemimpinan SBY jilid II terdapat 28 kali. Terjadi bom Bali II di periode pertama kepemimpinan SBY dan sejak saat itu penguatan pencegahan teror terus dilakukan.
Trend terakhir terorisme telah mengarah pada penyerangan terhadap aparat keamanan yang terjadi dalam kurun 2012-2013. Perbedaan paling mencolok pada masa ini adalah aksi teror yang banyak dilakukan oleh kelompok yang memiliki afiliasi dengan kelompok teroris internasional seperti al-Qaeda yakni JI
Sumber:
- Solahudin (2011), NII sampai JI, Salafy Jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu
- Dokumen Perkembangan Terorisme di Indonesia (Deputi Pencegahan, Perlindungan, Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. 2013