Jakarta – Fenomena dan gerakan anti-Syiah kembali marak di Indonesia. Syiah dikepung dari berbagai penjuru angin dengan berbagai dalil dan dalih: dari teologi-keagamaan (seperti ajaran-ajaran Syiah yang dianggap “menyimpang” dari kanon resmi Islam) sampai politik kekuasaan (misalnya bahaya laten revolusi Syiah bagi NKRI).
Jika dulu, pada masa Orde Baru, gerakan anti-Syiah didengungkan oleh negara karena kekhawatiran “virus revolusi politik” Syiah Iran tahun 1979 akan menular di Indonesia, kini gerakan anti-Syiah dikomandoi oleh sejumlah tokoh Muslim dan ormas Islam yang tidak hanya didasari oleh kekhawatiran berlebihan—dan mengada-ada—terhadap “efek domino” politik Syiah Timur Tengah di Indonesia tetapi juga dilandasi oleh tuduhan penyimpangan teologi-keagamaan Syiah.
Sayangnya, Syiah tidak hanya menjadi sasaran kritik sejumlah kelompok Islam konservatif tetapi juga target kekerasan fisik seperti terjadi di Sampang, Bogor, dan Lombok.
Banyak pihak menyebut Saudi-Wahabi sebagai “dalang” di balik gerakan anti-Syiah di Tanah Air. Tetapi menariknya, di Saudi sendiri gerakan anti-Syiah tidak sevulgar dan semarak di Indonesia. Tidak ada poster, spanduk, atau selebaran-selebaran provokatif kontra Syiah.
Juga tidak ada pengajian-pengajian akbar anti-Syiah yang bergemuruh. Para khatib Jumat memang sering menekankan umat Islam untuk menghindari praktek bid’ah dan khurafat serta menjalankan ajaran Islam yang “murni dan konksekuen” yang sebetulnya merupakan kritik terhadap Syiah tetapi tidak menyebut secara langsung kesesatan Syiah.
Yang sering menyebut Syiah secara terang-terangan sebagai heretik, rafidah, dan murtad adalah para ulama Wahabi ultrakonservatif.
Hal menarik lain di Arab Saudi dewasa ini adalah tidak adanya gerakan masif dari tokoh dan ormas Islam untuk memobilisasi massa guna menyerang kantong-kantong Syiah seperti terjadi di Indonesia. Kekerasan terhadap Syiah di Saudi lebih banyak dilakukan oleh “oknum” negara dan sayap ultraradikal Wahabi. Perlu dicatat tidak semua pengikut Wahabi adalah radikal dalam tindakan, meskipun mereka tentu saja radikal dan konservatif dalam pandangan dan pemikiran keislaman.
Ada banyak teman-teman saya yang Wahabi yang tidak setuju dengan pandangan-pandangan keagamaan Syiah yang dinilai melecehkan Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad, dan para sahabat, serta dianggap menyimpang dari ajaran fundamental Islam. Tetapi mereka menolak untuk melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap komunias Syiah. Mereka bahkan menuding kekerasan anti-Syiah di distrik Dalwah di Saudi timur, yang dilakukan oleh para penembak bertopeng pada November 2014, lalu dilakukan oleh ekstremis Islamic State (baca ISIS—Islamic State of Iraq and Syria) yang ingin mengusik stabilitas politik Saudi.