Pula, tidak semua rezim Saudi adalah anti-Syiah. Mendiang Raja Fahd (1921-2005) dan Raja Abdullah (1924-2015), misalnya, adalah sosok pemimpin liberal-moderat yang proaktif menggalang toleransi, perdamaian, dan rekonsiliasi terhadap Syiah.
Raja Fahd pernah menginstruksikan untuk menghapus semua kata dan istilah yang mengandung nuansa penghinaan dan pelecehan terhadap Syiah dari buku-buku teks yang dipakai di sekolah-sekolah untuk kemudian diganti dengan istilah-istilah yang lebih toleran dan bersahabat.
Ia juga memerintahkan untuk menghilangkan segala kebijakan diskriminatif anti-Syiah, membolehkan pengikut Syiah Saudi di pengasingan untuk pulang, melepaskan para pemimpin Syiah dari tahanan, membolehkan warga Syiah untuk bekerja di lembaga-lembaga pemerintahan dan sektor swasta, serta aneka policy progresif lain untuk memperbaiki kondisi warga Syiah di Saudi.
Di universitas milik Kerajaan Saudi tempat saya mengajar saat ini, King Fahd University, juga banyak dijumpai para profesor Syiah dan beberapa di antaranya menduduki jabatan sebagai dekan atau ketua departemen seperti Samier Al-Bayat, Badr Al-Humaidi, Jaafer bin Moosa, dan lain sebagainya.
Raja Fahd bahkan pernah memecat Imam Masjid Nabawi di Madinah karena melakukan propaganda anti-Syiah pada waktu khutbah Jum’at ketika ada kunjungan Ayatullah Akbar Hashemi Rafsanjani.
Raja Abdullah juga menerapkan kebijakan yang tidak kalah spektakuler dengan pendahulunya, Raja Fahd, seperti membolehkan warga Syiah untuk menggunakan buku-buku Syiah di sekolah-sekolah mereka. Ia juga merevisi kurikulum nasional dan memasukkan materi-materi non-Wahabi ke dalam kurikulum agar para siswa bisa mempelajari dan memahami aneka ragam pandangan keislaman.
Raja Abdullah juga aktif menggalang dialog dengan para tokoh Syiah Saudi kharismatik seperti Sheikh Hassan al-Saffar. Singkatnya, almarhum Raja Abdullah, seperti ditulis Rob Sobhani dalam buku: King Abdullah of Saudi Arabia: A Leader of Consequence, dengan berbagai kebijakan pluralis-progresifnya di bidang pendidikan, perdamaian, politik-ekonomi, keagamaan, emansipasi perempuan.
Berbagai upaya dan kebijakan yang sering kali mendapat protes, kritik, dan tantangan dari kubu konservatif-radikal Wahabi—turut membantu menciptakan stabilitas politik Arab Saudi meskipun berbagai negara Arab dan Timur Tengah diguncang kekacauan sosial dan revolusi politik sejak 2010.
Sejumlah tokoh dan ulama Syiah Saudi yang saya wawancarai seperti Sheikh Ibrahim al-Battat, Sayyid Hashim bin Muhammad bin Nasr al-Salman, dan Sheikh Humaidan al-Qatifi juga mengekspresikan rasa simpati dan hormatnya kepada Raja Abdullah yang menerapkan sejumlah kebijakan positif-konstruktif terhadap Syiah.