Ledakan bom Boston yang mengguncang Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa persoalan terorisme masih jauh dari kata selesai. Alih-alih, terorisme masih menjadi ancaman serius setiap saat bagi negara mana pun, tak terkecuali AS juga Indonesia.
Bahkan bukan tidak mungkin, ledakan bom Boston bisa menjadi suntikan tenaga baru bagi jaringan terorisme global yang porak-poranda akibat pelbagai macam tindakan pencegahan yang diambil oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Mulai dari penangkapan terhadap para tokoh utama jaringan terorisme, penyempitan ruang gerak mereka hingga penghentian aliran dana di antara kelompok-kelompok teroris.
Dalam konteks seperti ini, bom Boston mutakhir bisa menjadi inspirasi sekaligus suntikan tenaga baru bagi jaringan terorisme global untuk kembali bangkit dan melakukan aksi sadisnya. Logika yang bisa dibangun kemudian adalah; bila AS bisa ditembus, apalagi negara-negara lain yang tidak ditopang oleh pelbagai macam kecanggihan seperti negara adikuasa itu.
Oleh karenanya, negara-negara di dunia (khususnya Indonesia) harus terus meningkatkan kewaspadaan dalam rangka mengantisipasi pergerakan jaringan terorisme yang ada. Hal ini penting dilakukan, selain agar tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban kesadisan aksi terorisme, juga agar jaringan terorisme global tidak terus mendapatkan momentum kebangkitan dan menebar ancaman bagi kemanusiaan.
Ke(tidak)adilan Global
Ketidakadilan global merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suburnya jaringan terorisme global. Setidak-tidaknya demikian klaim yang kerap disampaikan oleh para teroris yang tak jarang menjadikan simbol-simbol negara asing sebagai target serangan. Mereka mengklaim, aksi yang dilakukan sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan global yang terjadi di banyak negara seperti Palestina, Irak, Afghnaistan dan yang lainnya.
Sebagai negara adikuasa, AS kerap dianggap sebagai sponsor utama bagi terjadinya ketidakadilan global. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Palestina dianggap sebagai akibat dari kebijakan politik luar negeri AS yang selalu mendukung Israel. Begitu juga dengan kehancuran Afghanistan, Irak dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain.
Oleh karenanya, kelompok teroris kerap menjadikan AS dan sekutunya sebagai musuh utama. Bahkan pada tahun 1998 Osama bin Laden mengeluarkan fatwa tentang kewajiban memerangi orang-orang Amerika Serikat, baik sipil maupun militer. Fatwa ini sempat menimbulkan perdebatan di kalangan kaum teroris terkait prioritas antara kewajiban memerangi musuh yang jauh (AS) dan memerangi musuh yang dekat, yaitu pemerintah yang dianggap sebagai thaghut, kafir, fir’un dan yang lainnya (NII sampai JI, hal. 248-249).
Di sini dapat ditegaskan, keadilan global merupakan salah satu bagian penting dari upaya deradikalisasi ataupun upaya pemberantasan terorisme. Sebagaimana telah disampaikan di atas, karena ketidakadilan global kerap dijadikan sebagai alasan oleh kelompok teroris untuk menjalankan aksi sadisnya.
Persoalannya adalah, justru hal ini (keadilan global) yang masih menjadi titik terlemah dari upaya-upaya pemberantasan terorisme ataupun deradikalisasi. Sejauh ini, negara-negara dunia belum melakukan langkah optimal untuk menyelesaikan pelbagai macam konflik yang terjadi di banyak negara dan kerap dijadikan sebagai cermin ketidakdilan global.
Itu sebabnya, dalam rangka menyelesaikan masalah terorisme, negara-negara di dunia harus bekerjasama secara lebih solid untuk menyelesaikan pelbagai macam konflik yang terjadi di banyak negara, mulai dari konflik Palestina-Israel hingga konflik yang terus terjadi di Suriah seperti sekarang. Hal ini penting dilakukan agar kelompok teroris tidak mempunyai alasan dan pembenaran dalam melakukan aksi jahatnya.
Politik Bebas Aktif
Sesuai dengan konstitusi, politik luar negeri Indonesia bersifat bebas aktif. Artinya, Indonesia harus bebas dalam melakukan peran-peran politik pada ranah global tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Sebagaimana Indonesia juga harus aktif dalam upaya penyelesaian pelbagai macam masalah yang ada di dunia.
Oleh karenanya, Indonesia mempunyai kewajiban konstitusional untuk turut serta, hadir dan aktif dalam upaya menyelesaikan pelbagai macam konflik yang ada di panggung dunia saat ini. Secara eksternal, kehadiran Indonesia dalam pelbagai macamupaya penyelesaian konflik di dunia akan semakin meningkatkan perannya di ranah global. Sementara secara nasional, kehadiran Indonesia dalam upaya penyelesaian pelbagai macam konflik di dunia akan dipahami sebagai kepedulian oleh masyarakat, khususnya kepedulian terhadap konflik yang terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Peningkatan peran dan kepedulian Indonesia terhadap upaya penyelesaian pelbagai macam konflik di dunia mempunyai arti dan fungsi yang sangat penting, khususnya terkait dengan upaya deradikalisasi yang sedang digalakkan di Indonesia. Mengingat peran ini telah menjadi bagian dari area deradikalisasi yang harus dilakukan secara komprehensif dan integratif, sebagaimana telah disampaikan di atas.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia mempunyai modal yang sangat kuat untuk meningkatkan peranannya di kancah global, khususnya terkait dengan konflik-konflik yang terjadi di dunia Islam. Apalagi Indonesia dianggap sebagai salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim yang sukses melakukan proses demokratisasi. Sementara banyak negara yang berpenduduk mayoritas Muslim lain saat ini (khususnya di Timur Tengah) justru harus beradarah-darah untuk melakukan sebuah proses awal demokratisasi.
Pada era globalseperti sekarang, tidak ada satu negara pun yang bisa “menyendiri” dan terbebas dari pengaruh regional-global, termasuk dalam persoalan terorisme. Hal ini berarti bahwa semua negara harus bekerjasama secara kuat untuk menghadapi masalah-masalah utama seperti terorisme.