Mantan Napiter Abu Fida Sabet Doktor Cumlaude, Ulas Manipulasi Pemikiran Ibnu Taimiyah

Surabaya – Semangat belajar sepanjang hayat kembali menunjukkan maknanya dalam perjalanan hidup Muhammad Saifudin Umar—mantan narapidana terorisme internasional yang kini bertransformasi menjadi pejuang perdamaian. Dalam konteks ancaman radikalisme yang masih membayangi ruang sosial Indonesia, kisah Saifudin menjadi pengingat bahwa perubahan dapat lahir dari ilmu dan kesadaran.

Saifudin, yang dikenal luas dengan nama Abu Fida, hadir dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pada Rabu (10/12/2025). Ia mempertahankan disertasi berjudul Hermeneutika Jihad Ibnu Taimiyah dan Radikalisme: Studi atas Pemaknaan Teroris terhadap Pemikiran Jihad di hadapan para penguji senior, di antaranya Prof Masdar Hilmy sebagai ketua penguji serta empat guru besar lainnya dari internal dan eksternal kampus.

Selama dua jam, Saifudin memaparkan argumentasi akademiknya dengan lugas dan meyakinkan. Sidang ditutup dengan keputusan bahwa ia berhak menyandang gelar doktor dengan predikat Cumlaude.

Usai prosesi, suasana berubah lebih hangat ketika keluarga, kolega, dan para profesor berkumpul berdiskusi santai tentang perjalanan hidup Saifudin. Dalam percakapan itu, salah satu profesor bergurau bahwa Saifudin memiliki “pengalaman lebih” dibanding mereka. “Beliau ini dua kali masuk penjara, sementara kami tidak pernah,” ujarnya, disambut tawa ringan dan senyuman Saifudin.

Kisah tersebut diceritakan oleh Andi Hariyadi, pendamping para mantan narapidana terorisme dalam komunitas Pejuang Damai LDK PWM Jawa Timur. Ia menyebut Saifudin sebagai sosok yang konsisten memberikan edukasi bagi masyarakat maupun rekan-rekannya yang masih berada di lapas. “Kami akan terus berkhidmat di komunitas Pejuang Damai,” kata Saifudin dalam salah satu kajian LDK PWM Jatim.

Dalam disertasinya, Saifudin menelusuri bagaimana pemikiran Ibnu Taimiyah sering dipotong dan dimanipulasi sehingga melahirkan tafsir jihad yang keliru. Ia mengungkapkan bahwa penafsiran sepihak yang dianggap mutlak benar inilah yang kerap menjadi jalan masuk tindakan ekstrem atas nama agama.

Saifudin tidak menutupi pengalaman pribadinya. Ia mengakui bahwa dirinya dulu terjerumus karena pemahaman yang dangkal dan sentimen keagamaan yang eksploitatif. “Kami gelisah melihat warisan ulama besar disalahpahami dan dipakai untuk membenarkan kekerasan,” ujarnya.

Para penguji menilai karya ilmiah Saifudin memiliki kedalaman analisis karena memadukan ketelitian akademik dengan pengalaman nyata di lapangan. Transformasinya dari pelaku menjadi penyintas dan pendidik menjadikan perspektifnya sangat berharga dalam diskursus deradikalisasi.

Tim penguji berharap capaian akademik ini menjadi energi baru bagi Saifudin untuk memperluas kontribusi—baik melalui penelitian, penulisan, maupun edukasi bagi kelompok rentan agar tidak terjerumus propaganda ekstremisme.

Perjalanan intelektual dan spiritual Muhammad Saifudin Umar menjadi contoh bahwa pengetahuan mampu membuka ruang refleksi, rekonsiliasi, dan perubahan. Di tengah ancaman radikalisme yang terus berkembang, kisahnya menjadi cahaya bahwa jalan damai selalu mungkin dipilih.