Bogor – Di tengah ikhtiar panjang Indonesia mencari formula paling efektif untuk deradikalisasi, sebuah pendekatan yang lebih personal dan rekonsiliatif muncul dari Sentul, Kabupaten Bogor. Dua kakak-beradik mantan narapidana terorisme, Ziad dan Uzair Cholid, memilih jalan yang tidak lazim: membangun rekonsiliasi melalui ibadah.
Melalui perusahaan marketplace syariah yang mereka dirikan, Adaumroh, keduanya memberangkatkan umroh gratis bagi dua sosok yang dahulu berada di sisi yang berseberangan—seorang mantan napiter dan seorang anggota Densus 88 Antiteror. Bagi keduanya, ini bukan hanya sekadar program CSR, tetapi upaya membangun ruang temu yang selama bertahun-tahun tertutup.
Secara kasat mata, aktivitas ini tampak seperti bantuan ibadah biasa. Namun dalam konteks deradikalisasi, langkah tersebut memuat pesan simbolik yang jauh lebih besar: mempertemukan pelaku, aparat, dan masyarakat dalam satu ruang spiritual yang setara.
Langkah Adaumroh menjadi kontras di tengah narasi deradikalisasi yang selama ini cenderung dikaitkan dengan program negara, pendekatan struktural, atau intervensi penegakan hukum. Inisiatif ini kecil, sederhana, namun menyentuh akar persoalan—menyembuhkan hubungan sosial yang rusak.
“Kami sangat mengapresiasi Adaumroh. Ini program CSR pertama di Indonesia yang digerakkan oleh mantan napiter, menjadikan mereka pionir perubahan positif,” ujar Direktur Idensos Densus 88 AT, Brigjen Pol. Arif Makhfudiharto, melalui keterangan pers yang diterima Rabu (10/12/2026).
Arif menilai bahwa perjalanan ibadah seperti umroh mampu menciptakan ruang aman untuk percakapan yang sulit terbangun dalam situasi formal. Di sana, eksklusivitas sosial perlahan terkikis, simpul prasangka dilonggarkan, dan kesiapsiagaan komunitas diperkuat.
Beberapa tahun terakhir, pendekatan deradikalisasi di Indonesia memang bergerak menuju pola yang lebih manusiawi—tidak hanya memonitor, tetapi membantu mantan pelaku ekstremisme menemukan identitas baru sebagai warga produktif. Ziad dan Uzair adalah representasi nyata dari transformasi itu.
Keduanya memahami betul beratnya hidup dengan label masa lalu. Dari pengalaman tersebut, mereka membangun Adaumroh sebagai ekosistem bisnis syariah yang tidak hanya menopang ekonomi, tetapi juga menyediakan ruang pemulihan sosial.
“Kami ingin menghadirkan solusi finansial syariah yang membuka kesempatan bagi semua. Program CSR ini membuktikan bahwa perjalanan spiritual bisa menjadi jembatan rekonsiliasi,” kata Ziad.
Uzair menambahkan bahwa keberangkatan umroh itu bukan sekadar ritual, tetapi simbol bahwa di hadapan Ka’bah, setiap orang berdiri sebagai manusia—tanpa stigma, tanpa sekat. “Atas izin Allah, perjalanan ini adalah ibadah dan bukti bahwa kolaborasi konstruktif dapat memutus siklus prasangka. Kami berharap model seperti ini direplikasi di banyak bidang,” ujar Uzair.
Dengan dukungan mitra-mitra resmi, program CSR Adaumroh dirancang untuk memperkuat ketahanan sosial, membuktikan bahwa empati dan inklusi bukan konsep teoritis, tetapi dapat dihadirkan melalui aksi konkret.
Inisiatif kecil dari dua eks-napiter ini menegaskan satu hal: rekonsiliasi tidak selalu harus lahir dari forum besar. Terkadang, ia tumbuh dari perjalanan spiritual yang sederhana—dari kemampuan melihat “orang lain” sebagai sesama. (
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!