TEMPO.CO, Surakarta – Pola persenjataan kelompok teroris di Indonesia hingga saat ini terus berkembang. Salah satunya adalah temuan bom jenis nitrogliserin di sejumlah lokasi. Solo menjadi salah satu pusat pengembangan bom berdaya ledak tinggi tersebut.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, mengatakan bahwa sejumlah kelompok mencoba mengembangkan bom itu. “Salah satunya kelompok Badri di Solo,” katanya seusai mengikuti acara diskusi di Restoran Goela Klapa Solo, Rabu, 26 Juni 2013.
Badri ditangkap di sekitar rumahnya yang berada di Kelurahan Pajang, Solo, pada Oktober tahun lalu. Dalam penggeledahan yang dilakukan, polisi menemukan sejumlah bahan peledak. Setelah diperiksa di laboratorium forensik, bahan tersebut diidentifikasi sebagai bahan bom nitrogliserin.
Bom dengan jenis yang sama juga ditemukan saat polisi membongkar jaringan Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) di bulan yang sama. Kelompok pimpinan Abu Hanifah itu ditangkap di Solo dan sekitarnya. Pada saat itu, polisi menyebut bahwa bom nitrogliserin yang ditemukan berdaya ledak tinggi, bahkan jauh lebih besar dibanding bom yang digunakan dalam Bom Bali.
Sedangkan Mei kemarin, polisi menangkap salah satu warga di Solo, Slamet Pilih. Dia disebut-sebut sebagai instruktur dalam meracik bom cair jenis nitrogliserin. Dia diduga menjadi bagian dalam kelompok Badri.
Menurut Ansyaad, kebanyakan dari mereka mendapatkan keahlian tersebut dari Poso. “Ada sekitar 300 orang yang berlatih membuat bom di sana,” katanya. Sedangkan polisi baru berhasil menangkap sekitar 100 orang. “Masih banyak yang belum tertangkap,” katanya menambahkan.
Hanya saja, dari keseluruhan alumni Poso, tidak semuanya menguasai keahlian dalam membuat bom cair tersebut. “Beberapa kelompok yang kemudian mencoba mengembangkannya,” katanya. Yang dikhawatirkan, mereka menularkan keahliannya dalam meracik bom berdaya ledak tinggi ke kelompok lain.
Salah satu alumnus Afganistan, Abdul Rahman Ayub, mengatakan bom nitrogliserin terinspirasi dari bom-bom buatan Rusia. “Dulu Rusia menggunakannya sebagai bom lempar,” katanya. Mereka kemudian mempelajari kandungan bahannya dari bom-bom yang tidak meledak.
Menurut Ayub, Solo merupakan salah satu basis dari kelompok teroris yang menguasai keahlian membuat bom nitrogliserin. “Mereka masih terus mencoba mengembangkan,” katanya. Untungnya, hingga saat ini bom jenis tersebut belum pernah digunakan dalam aksi teror.
Menurut dia, kelompok teroris sebenarnya sudah berhasil membuat bom tersebut secara cukup sempurna. Namun, mereka belum bisa membuat alat pemicu yang aman. “Sehingga selama ini mereka hanya bisa membuat dan menyimpannya,” kata pria yang pernah menjadi petinggi Jamaah Islamiyyah di wilayah Australia tersebut.
sumber: tempo online