Bangsa Indonesia telah lebih dari satu dekade menghadapi serangan terorisme. Tentunya, berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi aksi-aksi terorisme yang telah menelan banyak korban jiwa. Usaha-usaha tersebut ada yang mencapai hasil gemilang dan mendapatkan banyak perhargaan, tapi tak jarang menuai protes bahkan menemui kegagalan. Namun, sebuah usaha yang berkesinambungan harus terus dilakukan, tantangan demi tantangan datang silih berganti harapan masyarakat sangat tinggi terhadap pihak pemerintah dalam upaya menyelesaikan aksi aksi terorisme yang membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada awalnya, pemerintah mengandalkan strategi penindakan dengan pendekatan kekerasan atau hard approach. Strategi ini telah dijalankan oleh Densus 88 dan berhasil mengungkap dan menangkap berbagai tragedi teror di tanah air. Namun, strategi ini ternyata tidak cukup. Perlu strategi yang lain, soft approachmelalui deradikalisasi dan anti radikalisasi.
Secara sederhana, deradikalisasi dapat diartikan sebagaiupaya penanganan terhadap kelompok radikal agar menjadi tidak radikal. Usaha ini ditujukan bagi mereka yang sudah terlibat kegiatan terorisme, organisasi radikal, maupun masyarakat umum agar tidak tertular virus radikalisme dan terorisme.
Program deradikalisasi ditujukan sebagai usaha “harm reduction”yang ditujukan bagi segelintir anak bangsa yang telah terpapar dan tergabung secara aktif (kelompok inti dan militan) dalam melakukan aksi terorisme baik secara individu maupun kelompok dan mengatasnamakan agama. Pelaksanaan program deradikalisasi ini secara khusus dimaksudkan untuk membuka dan merubah cakrawala berpikir yang semula fanatis sempit menjadi elegan dan berwawasan luas serta dapat menerima perbedaan.Deradikalisasi dilakukan karena didasari pemahaman bahwasalah satu akar atau sebab terorisme adalah faham radikalisme yang diwujudkan dalam bentuk tindakan radikal yang memaksakan kehendak.
Sejatinya, program deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sebelum berbagai aksi terorisme marak dan membuat geger masyarakat Indonesia, kita telah memiliki pengalaman dalam melakukan deradikalisasi terhadap kelompok Komando Jihad. Kini, setelah reformasi, Indonesia kembali menghadapi permasalahan radikalisme dari kelompok garis keras yang melakukan serangkaian aksi terorisme.
Untuk mengatasi masalah radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melakukan deradikalisasi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari kementerian dan lembaga, Polri, TNI, perguruan tinggi, hingga masyarakat sipil seperti ormas dan LSM. Desain Deradikalisasi memiliki empat komponen yaitu reedukasi, rehabilitasi, resosialisasi, dan reintegrasi.
Reedukasi adalah penangkalan dengan mengajarkan pencerahan kepada masyarakat tentang paham radikal sehingga tidak terjadi pembiaran berkembangnya paham tersebut. Bagi para terpidana kasus terorisme, reedukasi dilakukan dengan memberikan pencerahan terkait dengan doktrin-doktrin menyimpang yang mengajarkan kekerasan sehingga mereka sadar bahwa melakukan kekerasan seperti bom bunuh diri bukanlah jihad yang diidentikkan dengan aksi terorisme.
Rehabilitasi memiliki dua makna yaitu pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian, pembinaan kemandirian adalah melatih dan membina para mantan napi mempersiapkan keterampilan dan keahlian, gunanya adalah agar setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka sudah memiliki keahlian dan bisa membuka lapangan pekerjaan.
Sedangkan pembinaan kepribadian adalah melakukan pendekatan dengan berdialog kepada para napi teroris agar mind set mereka bisa diluruskan serta memiliki pemahaman yang komprehensif serta dapat menerima pihak yang berbeda dengan mereka. Namun hal ini sangatlah berat dilakukan, membutuhkan banyak ahli dan strategi dalam menjalankannya.
Proses rehabilitasi dilakukan dengan bekerjasama dengan berbagai pihak seperti polisi, Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Agama, Kemenkokesra, ormas, dan lain sebagainya. Diharapkan program ini akan memberikan bekal bagi mereka dalam menjalani kehidupan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
Kemudian, untuk memudahkan mantan narapidana dan narapidana teroris kembali dan berbaur ke tengah masyarakat, BNPT juga membimbing mereka dalam bersosialisasi dan menyatu kembali dengan masyarakat (resosialisasi dan reintegrasi). Tentu saja, hal ini tidak mudah dilakukan karena para teroris pada umumnya kurang berbaur dengan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat terkadang juga masih sulit menerima kembali para mantan teroris di tengah-tengah mereka.
Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi. BNPT menggandeng sejumlah kampus seperti UIN Jakarta, Universitas Indonesia, UIN Malang, USU Medan, dan sejumlah kampus lainnya. Kampus dipilih sebagai salah satu pusat deradikalisasi karena beberapa pelaku terorisme adalah mahasiswa atau alumni perguruan tinggi. Melalui serangkaian kegiatan seperti public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk berfikir kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.
Kontra-radikalisasi, di sisi lain,dilakukan untuk memproteksi masyarakat umum yang belum terjangkiti radikalisme dengan melibatkan tokoh masyarakat, ormas, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Upaya tersebut dilakukan dengan menyelenggarakan Training for Trainer yang diikuti para pembina, pengasuh, dan pengajar pesantren. Tak hanya itu, dengan menggandeng ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Persis, LDII, dan lainnya, BNPT juga memberikan pembekalan bagi para dai/ustadz agar turut menyosialisasikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Sebagai negara yang majemuk yang berpijak pada empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, Indonesia memberikan kebebasan bagi semua warganya untuk berserikat dan berekspresi sesuai dengan agama dan keyakinannya, tetapi tetap dalam kerangka dan batas empat pilar kebangsaan tersebut. Semua aliran berhak tumbuh dan berkembang sejauh tidak melabrak empat pilar. Program deradikalisasi di Indonesia, karenanya, dilakukan dengan semangat untuk menegakkan empat pilar kebangsaan yang dapat menumbuhkan semangat nasionalisme serta tetap mempertahankan NKRI sebagai hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Pada praktiknya, program deradikalisasi tidaklah berjalan mulus. Tak semudah membalik telapak tangan, kata orang-orang. Banyak permasalahan yang dihadapi.Seringkali, masing-masing pihak tetap pada pendiriannya. Dalam sejumlah diskusi, kelompok-kelompok radikal tetap tak bisa menerima argumentasi pemerintah. Kompromi akhirnya menjadi hal yang niscaya. Pada satu sisi, memberikan kebebasan kepada masing-masing pihak untuk memperjuangkan agendanya masing-masing, tapi dengan tanpa menggunakan kekerasan dan tetap dalam kerangka hukum yang ada, pada sisi yang lain.
Selain penanganan aksi terorisme yang harus diselesaikan, program deradikalisasi juga menghadapi tantangan internal dan eksternal. Secara internal kekurangan sumber daya manusia yang sangat terbatas, pemahaman yang beragam terhadap makna strategi dan sasaran yang akan dideradikalisasi, kemandirian pengelolaan program deradikalisasi masih belum maksimal, dasar hukum yang menjadi pijakan masih menggunakan peraturan Presiden, infra struktur yang dimiliki belum sesuai dengan standar seperti fasilitas yang dimiliki Badan Negara lainnya.
Tantangan secara eksternal adalah sosialisasi akan bahaya yang ditimbulkan aksi terorisme dan penanggulangannya masih sangat minim sehingga sebahagian masyarakat bahkan sebahagian kementerian dan lembaga menganggap bahwa hanya TNI Polri serta BNPT yang bertanggung jawab menanggulanginya, sementara semua lapisan masyarakat menyadari bahwa aksi terorisme merupakan bahaya kemanusiaan. Tantangan eksternal lainnya adalah banyak kecurigaan yang dialamatkan kepada pelaksanaan program deradikalisasi di antaranya deradikalisasi dianggap sebagai upaya adu domba.
Bila perhatian seluruh lapisan masyarakat menyatu dalam menghadapi bahaya aksi terorisme, kecurigaan dan kesalahfahaman dari berbagai kalangan dapat diluruskan, arogansi sektoral dari banyak kalangan juga dapat ditangkal. Slogan NKRI merupakan harga mati dapat dipertahankan sepanjang masa dan berkelanjutan dari masa ke masa.