Tatag Lusiantoro, Dari Eks Anggota JI Menuju Duta Perdamaian

Temanggung – Tatag Lusiantoro, seorang mitra deradikalisasi BNPT dan eks anggota Jamaah Islamiyah (JI), berbagi kisah transformasi hidupnya dalam acara Dialog Kebangsaan yang digelar BNPT bersama Komisi XIII DPR RI di Kabupaten Temanggung.

“Saya lahir dari keluarga Muhammadiyah. Sejak kecil terbiasa ngaji, dan saat muda, semangat saya ingin mencapai kesempurnaan dalam beragama. Tapi semangat itu kemudian membawa saya pada jalan yang radikal,” ungkap Tatag

Tatag mengakui bahwa pada masa mudanya, ia merasa frustrasi terhadap kondisi hukum dan keadilan di Indonesia. Ia kemudian bergabung dengan kelompok Jamaah Islamiyah dan secara sadar melakukan baiat. Dalam kelompok tersebut, ia sempat menduduki posisi penting sebagai anggota divisi investigasi dengan cakupan wilayah cukup luas di Indonesia bagian barat.

“Saya bergabung bertahun-tahun, naik dari anggota biasa hingga diberi amanah. Tapi semua itu berawal dari pemahaman yang keliru—pemahaman dalil secara berlebihan dan tidak utuh,” ujarnya.

Tatag akhirnya ditangkap oleh Densus 88 pada tahun 2016 setelah cukup lama masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Namun titik balik hidupnya terjadi saat ia menjalani masa tahanan di Lapas Sumbawa selama 15 bulan.

“Selama di lapas, saya banyak membaca buku. Tim deradikalisasi BNPT juga sering bersilaturahmi, berdialog, tidak menghakimi. Dari situ saya mulai terbuka dan sadar, bahwa pemahaman saya selama ini keliru,” jelasnya.

Kini, Tatag telah kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa ada paksaan. Ia bahkan menjadi salah satu mitra aktif BNPT dalam mendampingi dan membina eks narapidana terorisme lainnya.

“Alhamdulillah, banyak teman-teman eks JI hari ini sudah kembali ke NKRI. Harapan kami, dari pemerintah daerah—seperti dari Purworejo dan daerah lain—bisa terus bersinergi dan memberikan perhatian. Kami butuh dukungan agar tidak kembali ke jalan yang salah,” tuturnya penuh harap.

Tatag menutup kesaksiannya dengan menegaskan pentingnya pendampingan pasca-deradikalisasi, serta pentingnya ruang dialog yang inklusif bagi para eks napiter.