Pesan Damai dari Lingsar: Perang Topat Jadi Panggung Harmoni Umat Beragama

Pesan Damai dari Lingsar: Perang Topat Jadi Panggung Harmoni Umat Beragama

Giri Menang – Pemerintah Kabupaten Lombok Barat kembali menggelar tradisi budaya dan religi Perang Topat, Kamis (4/12/2025). Ritual warisan leluhur masyarakat Lingsar ini dikenal sebagai simbol kerukunan dan perdamaian, sekaligus menjadi representasi kuat toleransi antara umat Hindu dan Muslim Sasak yang telah terjaga berabad-abad.

Perang Topat menegaskan filosofi unik: perang yang tidak melukai, namun justru menjadi wahana menguatkan silaturahmi dan persaudaraan antarumat beragama. Tradisi ini rutin digelar bersamaan dengan fenomena Rarak Kembang Waru—gugurnya bunga pohon waru—pada purnama sasih ketujuh dalam kalender Sasak.

Sebagai salah satu agenda Kharisma Event Nusantara (KEN), festival ini kembali menarik perhatian ribuan pengunjung, termasuk wisatawan mancanegara yang penasaran dengan kekayaan tradisi Lombok.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan Begawe Gubuk, jamuan makan bersama yang mempertemukan empat banjar umat Hindu dengan masyarakat Muslim di sekitar Pura Lingsar. Pagelaran seni, ritual keagamaan, serta aktivitas gotong royong Hindu–Muslim meramaikan suasana menjelang puncak acara.

Beberapa tradisi turut digelar seperti pemasangan Abah-abah (perlengkapan upacara), Sabun Rah, Napak Tilas Negelingan Kerbau, Bebeteh/Ngelukar, hingga persembahyangan umat Hindu di Pura Lingsar.

Puncak Perang Topat yang berlangsung Kamis petang dihadiri oleh Bupati Lombok Barat H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ), perwakilan Kemenparekraf, unsur Forkopimda, Dispar NTB, para kepala OPD, camat, kepala desa, serta pelaku usaha pariwisata.

Bupati LAZ menegaskan bahwa Perang Topat adalah tradisi yang menyimpan pesan mendalam tentang toleransi antarumat beragama. “Inilah harmoni yang diwariskan leluhur kita—kerja sama dan persaudaraan antara umat Hindu dan Islam yang terus dirawat turun-temurun. Nilai ini harus kita jaga,” ujarnya.

Ia menyebut Perang Topat sebagai satu-satunya “perang” yang membawa kedamaian sepenuhnya, tanpa korban, tanpa kekerasan, hanya kebersamaan. Menurutnya, tradisi ini perlu dipertahankan karena mengandung pesan toleransi yang amat relevan bagi masyarakat masa kini.

Untuk itu, Pemkab Lombok Barat berkomitmen mengembangkan perayaan ini menjadi event yang lebih besar dan berdampak luas. “Ke depan, Perang Topat harus dikemas dalam skala lebih besar, dengan melibatkan lebih banyak tokoh lintas agama di level nasional. Kita ingin menunjukkan dari Lombok Barat, nilai-nilai luhur toleransi dapat menjadi inspirasi bagi bangsa dan dunia,” tegasnya. Ia menutup dengan ajakan kepada seluruh pihak untuk menjaga tradisi ini sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang telah diakui secara nasional, agar nilai-nilai persatuan yang terkandung di dalamnya tetap hidup dari generasi ke generasi.