Jakarta – Meski dikenal sebagai daerah dengan potensi konflik, Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Penajam Paser Utara (PPU), KH Abu Hasan
Mubarok menegaskan, akar permasalahan di wilayah ini lebih kepada
faktor sosial ekonomi daripada agama.
Hal ini disampaikannya dalam acara Pengembangan Kampung Moderasi
Beragama di Desa Giripurwa, Kecamatan Penajam, PPU, baru-baru ini.
“PPU termasuk dalam lima wilayah yang rawan konflik, namun konflik
yang terjadi bukan karena agama, melainkan faktor lain,” tegas
Mubarok.
Ia kemudian mengutip pandangan Ma’ruf Amin, ketua Dewan Pembina MUI
Pusat, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Darul Mitsaq, atau
negara yang terbentuk atas kesepakatan. Konsep ini menekankan
pentingnya toleransi dan saling ketergantungan antarwarga. Dalam upaya
mencegah radikalisme dan membangun masyarakat yang moderat, MUI PPU
terus gencar melakukan sosialisasi dan edukasi.
Acara di Desa Giripurwa itu merupakan salah satu upaya untuk
menanamkan nilai-nilai moderasi beragama di tingkat desa. Mengutip
pada teori Al-Ghazali, Ketua Dewan Pembina MUI yang juga mantan Wakil
Presiden RI, KH Ma’ruf Amin tersebut, mengatakan bahwa sebuah negara
terbentuk karena adanya sebuah ketergantungan atau interdependensi
antarsatu elemen masyarakat dengan yang lainnya.
Misalkan, seorang petani membutuhkan alat-alat pertanian, maka
diperlukanlah industri pertanian. Untuk mengangkut hasil panen, mereka
membutuhkan alat transportasi sehingga mereka memerlukan industri
transportasi.
Dalam paparannya, Ketua MUI PPU Abu Hasan Mubarok menyebutkan bila
wilayah PPU itu sendiri menurut sebuah penelitian termasuk ke dalam
lima wilayah yang rawan konflik. Dia mengutip Yuniarti, dosen Fakultas
Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda pada 2018
merilis hasil kajiannya bahwa Dinas Sosial Kaltim telah memetakan lima
daerah rawan konflik, yaitu: 1) Samarinda, 2) Balikpapan, 3) Paser, 4)
PPU, dan 5) Kutai Barat. Namun, menurutnya konflik yang terjadi di
wilayah PPU dan juga Kaltim pada umumnya bukan dipicu oleh faktor
agama, melainkan pada faktor lain.
Masyarakat Indonesia, lanjut Mubarok, dikenal dengan keberagaman agama
dan budaya. Namun, dinamika sosial sering kali menghadirkan potensi
konflik akibat perbedaan pandangan.
Menurut data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) yang dia kutip pada
Sensus 2010, bahwa terdapat sekitar 1.340 suku bangsa yang tersebar di
Indonesia. Wilayah Kaltim jumlah populasi pada 2020 sebanyak 3.941.766
jiwa, dan pada pertengahan 2024 ini terdapat 4.050.079 jiwa.
Adapun dari segi agama, Kaltim terdiri dari 87,37 persen muslim, 12,02
persen kristen (7,51 persen protestan dan 4,51 persen katolik), 0,38
persen budha, 0,22 persen hindu dan 0,01 persen konghuchu.
Adapun untuk Kabupaten PPU, lanjutnya, jumlah penduduknya 199,600
jiwa. Dengan sebaran agama 94,73 persen muslim, 5,18 persen kristen
(3,72 persen protestan, 1,46 persen katolik), 0,07 persen hindu dan
0,02 persen budha.
Dia mendukung kegiatan moderasi beragama ini, karena tujuan
pembentukan desa moderasi beragama adalah untuk menciptakan masyarakat
desa yang harmonis, toleran, dan mampu hidup berdampingan secara damai
di tengah perbedaan agama, budaya, dan keyakinan.