Jakarta – Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR tentang Perubahan UU Nomor 15/2003 mengenai Perppu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sudah kembali dari kunjungan kerja ke Inggris. Banyak pelajaran berharga yang diperoleh anggota Pansus RUU tersebut dalam kunjungan kerja itu.
“Pelajaran berharga yang diperoleh itu terkait penanganan terorisme di Inggris dan bakal menjadi masukan dalam pembahasan RUU Terorisme. Pansus mempelajari banyak hal, di antaranya mengenai koordinasi antar lembaga, peran tentara, dan deradikalisasi. Kami lihat di sana koordinasi antar lembaga itu sudah baik sekali,”kata anggota Pansus RUU Terorisme DPR Arsul Sani.
Kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/5/2017), Arsul pun membeberkan, koordinasi penanggulangan terorisme di Inggris dibedakan menjadi penanganan terorisme dalam negeri dan luar negeri. Penanganan di dalam negeri diambil alih oleh Kementerian Dalam Negeri, sementara terorisme antarnegara dibawah kendali Perdana Menteri.
Dalam konteks keterlibatan tentara atau TNI, politkus asal PPP itu mengatakan, Inggris menjadikan tentara sebagai perbantuan bagi Kepolisian dalam menangani terorisme. Bantuan itu berdasarkan dampak dari peristiwa terorisme dan atas permintaan dari Kepolisian.
Klasifikasi besaran dampak terorisme di Inggris dilakukan oleh MI6 atau Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Inggris dengan Perdana Menteri. MI6 menggunakan kode warna tertentu sebagai penentu untuk setiap peristiwa teroris yang terjadi. Kategorisasi itu dijadikan acuan untuk pelibatan tentara dalam penindakan.
“Yang ditandai dengan warna hitam, merah, kuning, hijau atau semakin warnanya gelap itu semakin luas. Itu potensi dilibatkan tentara semakin besar. Mekanisme perbantuan itu, berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia tentara memiliki kewenangan langsung terlibat dalam penindakan terorisme berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan dari setiap aksi terorisme. Kewenangan itu sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) UU 32/2004 tentang TNI,” jelasnya.
Di samping itu, Pansus RUU Terorisme juga belajar dari cara Inggris dalam mengatur masa penahanan dan penindakan terhadap terduga teroris. Dalam menangani terduga teroris, Inggris memberi tenggat waktu selama 14 hari bagi Kepolisian untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras sebagai teroris. Namun, dalam prosesnya, pihak terkait harus memiliki izin dari pengadilan.
Politikus PPP itu menuturkan, pelaksanaan mekanisme itu berbanding terbalik dengan apa yang diterapkan di Indonesia. Saat ini berdasarkan UU 15/2003, aparat diberi tenggat selama 7 hari tanpa izin pengadilan untuk menangkap terduga teroris. Dalam pembahasan RUU, pemerintah bahkan mengajukan perubahan menjadi 30 hari tanpa keputusan pengadilan.