TERORISME : Islam, kita, media, dan kita lagi..

Islam adalah agama damai, mengajarkan perdamaian dan persaudaraan, meski tidak bisa pula kita pungkiri bahwa masih saja ada sgerombol orang yang ‘kerasan’ memamerkan Islam dalam wajah kekerasan. Beberapa kalangan kemudian mencoba mengartikan hal ini dengan menggunakan ‘gosip’ yang menyatakan bahwa Islam awalnya disebarkan dengan pedang. Faktanya Islam menyebar melalui media; transfer informasi dari satu orang ke orang lain.

Dalam konteks penyebaran Islam, seperti yang diungkap oleh Yusuf Estes, media tersebut adalah tradisi periwayatan dalam hadis. Si A mengatakan apa yang telah disampaikan oleh B, dimana B mendapat informasi tersebut dari C, dan seterusnya. Lalu bagaimana cara kita yang hidup di jaman sekarang mengetahui dan kemudian meyakini bahwa apa yang disampaikan tersebut benar?

Tradisi periwayatan hadis mengajarkan kita untuk bukan saja melihat apa yang dibicarakan, tetapi juga siapa (khususnya sifatnya) yang membawa berita (perawi) tersebut; apakah ia orang yang dapat dipercaya? Apakah kejujuran dari orang tersebut diakui oleh banyak orang jujur lainnya? Mengetahui ‘siapa’ mengatakan ‘apa’ selalu menjadi bagian penting dalam menentukan benar tidaknya sebuah hadis yang disampaikan.

Di era modern seperti saat ini, kabar dan berita menyebar begitu cepat. Isi berita yang sensasional kerap membuat kita lupa untuk mengecek siapa orang yang ada dibalik berita tersebut. Padahal jika menengok pada tradisi Islam, mengetahui si pembawa berita memiliki posisi penting dalam menentukan keotentikan berita tersebut.  Jika beritanya ada di media cetak, siapa penulisnya? jika beritanya ada di TV, siapa orang-orang yang ada dibalik layar? termasuk siapa saja orang-orang atau instansi tertentu yang memaksa mendorong pihak TV untuk menyampaikan suatu berita? Karena sangat mungkin berita yang beredar bukan dimaksudkan untuk mengabarkan kebenaran, tetapi hanya untuk melindungi suatu kepentingan tertentu.

Sudah bukan rahasia lagi kalau ada orang-orang yang ‘pura’pura’ menyampaikan berita, padahal isinya tak lebih dari sekedar prasangka. Orang yang menebar prasangka adalah mereka yang terlalu menyukai diri sendiri dan tidak segan untuk menebar kebohongan terhadap orang atau kelompok lain yang tidak mereka sukai. Tradisi periwayatan hadis dalam Islam mengajarkan kita untuk hanya menerima kabar atau berita dari orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang jujur saja. Jika sang periwayat hadis memiliki catatan pernah melakukan kebohongan, maka apa yang ia sampaikan tidak akan dianggap sebagai kebenaran lagi. Begitu juga dengan penyampai berita di masa modern sekarang, jika kita pernah menjumpai media yang pernah melakukan kebohongan (dan mereka menyadari hal itu), maka sebaiknya tidak lagi menanggapi secara serius setiap kabar berita yang mereka sampaikan.

Sebagai penerima berita, kita sudah tidak boleh lagi pasrah untuk menelan setiap berita secara mentah-mentah. Usahakan untuk selalu mencerna setiap berita yang kita terima dengan pikiran dan hati yang terbuka. Jangan sampai kita tertipu dengan ‘bungkus’ berita yang dibuat seolah baik padahal sebenarnya mencekik.

Islam yang tampak keras juga merupakan salah satu ‘mainan’ media, karena media nyatanya memang turut menyebarkan gambaran tentang Islam yang doyan banget sama kekerasan. Apalagi dalam konteks sekarang, menyebarkan berita yang beginian bukan hal sulit untuk dilakukan. beberapa dari kita nyatanya memang sangat rajin untuk secara ‘sukarela’ membantu media menyebarkan berita tentang Islam dari sisi yang gampang marah, bukan Islam yang ramah. Yakni dengan sebentar-sebentar memamerkan aksi kekerasan, memaki-memaki golongan lain yang mereka cap salah, dll. Pihak media juga tampaknya tidak terlalu perduli tentang kaedah kebaikan dan kesopanan dalam menyaring isi berita sebelum disampaikan pada banyak orang. Ingat, bad news is good news! Makin ‘gila’ isi suatu berita, makin tinggi pula rating-nya

Tidak sedikit pakar dan ulama yang menyatakan bahwa terorisme bukan bagian dari Islam, melainkan hasil dari permainan media. Pemberitaan yang miring, isi berita yang provokatif, dan menggunungnya pemikiran-pemikiran radikal bebal dalam menterjemahkan perintah agama yang terus menerus diumbar media kerap membuat kita lupa, kita beragama karena kita hanya ingin mencintai sesama dan mengakhiri perselisihan yang tak jelas ujungnya.

Terorisme boleh jadi menebar kejahatan dan kegilaan, tetapi jika kita tetap saja menelan berita tanpa pernah dicerna sebelumnya, kita nyaris tidak ada bedanya dengan mereka. Kita –sama halnya dengan teroris– adalah orang-orang yang menelan begitu saja berita tanpa pernah memikirkan baik-buruknya.

Mau? Saya sih ogah!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *