Transisi Pemerintahan Baru, Momentum Merajut Perdamaian dan Persatuan Bangsa

Jakarta – Hari Santri Nasional 2024 dan dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029 menjadi momentum yang dapat dijadikan sebagai langkah awal mewujudkan rekonsiliasi di masyarakat. Hal ini sangat penting mengingat perbedaan pandangan politik selama proses Pemilu sebelumnya, berpotensi menimbulkan polarisasi di kalangan masyarakat. Periode awal kepemimpinan transisi ini menjadi momen krusial untuk membangun kembali persatuan antara berbagai elemen bangsa.

Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Habib Nabiel Almusawa, mengungkapkan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan pasca pelantikan Presiden RI beserta jajarannya. Menurutnya, menjaga persatuan dan kesatuan adalah wajib bagi kaum muslim, wa’tasimu bihablillahi jami’an wala tafarroqu, yang artinya dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS: Ali Imran 103).

“Menjaga persatuan-persatuan itu kewajiban bagi orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa Ta’ala,” ujar Habib Nabiel Almusawa di Jakarta, Rabu (23/10/2024). 

Habib Nabiel mengingatkan, Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober 2024 dengan tema Menyambung Juang Merengkuh masa Depan, harus dimaknai dengan semangat persatuan membangun bangsa. Mendorong para santri meneruskan perjuangan para pendahulu bangsa, untuk membangun peradaban yang lebih maju. Masyarakat, terutama santri, harus mengambil peran untuk membumikan nilai nilai keislaman yang dapat mempererat persatuan bangsa untuk meredam agitasi, provokasi dan hoaks di masa transisi ini. 

“Para santri, ustad, ulama, dai, harus paling depan untuk memberantas hoaks, karena dia yang memahami dalil,” ujar Habib Nabiel Almusawa, yang juga menjadi Dewan Syuro Majelis Rasulullah SAW.

Habib Nabiel menegaskan, para santri memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia. Kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah terjadi tanpa adanya perjuangan yang dimotori oleh para ulama dan para habaib. Contohnya Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Sultan Hamid Al-Gadri, KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan pejuang dari kalangan santri, habaib dan ulama.

“Jadi, kalau dikatakan apa peran santri bagi Indonesia? Mashallah, peran yang luar biasa dari dulu membentuk karakter bangsa,” ucap pengurus pusat Rabithah Alawiyah, organisasi yang menaungi para keturunan Nabi Muhammad SAW di Indonesia. “Jadi jangan sampai santri Indonesia itu kalah dengan para scientist, para akademisi, dan lain-lain, karena antara santri dengan juga para ilmuwan, itu sama, jangan merasa minder, jadi santri harus terdepan.”

Mantan Anggota DPR periode 2009-2014 ini mengimbau masyarakat untuk mengawal dan mendoakan para pemimpin bangsa, daripada suudzon atau berprasangka buruk yang dapat memperkeruh suasana dan memecah belah anak bangsa. “Kalau doain sultan (pemimpin), semua dapat (kebaikan). Kalau sultannya bagus, baik, jujur adil, pro rakyat, maka masyarakatnya, ulama, akademisinya, bisnisnya semua bakal dapat baik,” kata Habib Nabiel.

Habib Nabiel berharap, apa yang direncanakan, yang diprogramkan untuk kesejahteraan masyarakat, dapat berjalan dengan baik. “Dengan dilantiknya pemimpin baru, semoga Indonesia menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi, atau Bahasa Arabnya, baldatun toyyibatun warobbun ghofur yang artinya negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun,” pungkas Habib Nabiel.

Dengan momentum ini, Habib Nabiel berharap, santri tidak hanya fokus terhadap persoalan agama, melainkan mampu membangun karakter bangsa yang memiliki kesimbangan antar intelektulitas dan religiusitas, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan zaman.