Kesiapsiagaan dan Koordinasi Antar Stakeholder dalam Penanggulangan Terorisme di Provinsi Lampung Terus Ditingkatkan

Bandarlampung –  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
menggelar kegiatan Penguatan Kapasitas dan Kompetensi Personil TNI,
Polri dan Instansi Terkait dalam Mendukung Penanggulangan Terorisme
yang diselenggarakan di Swiss Bell lampung, Rabu (23/10/2024). Hadir
dalam kegiatan ini Kapolda Lampung berserta jajaran pejabat utama,
Kepala Bakesbangpol Provinsi Lampung, Danrem Garuda Hitam, Danlanal,
Kabinda Lampung dan MUI Lampung.

Direktur Pembinaan Kemampuan pada Deputi Penindakan dan Pembinaan
Kemampuan BNPT, Brigjen Pol. Wawan Ridwan, S.I.K., M.H., saat membuka
acara mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
kesiapsiagaan dan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam
penanggulangan terorisme di Provinsi Lampung.

Dikatakannya berdasarkan laporan Global Terorism Index 2023, Indonesia
berada diurutan ke-24 dari 163 negara, jika mendekati angka terkecil
berarti dampak resiko terorisme lebih besar.

Data BNPT pada tahun 2018 ada 19 aksi serangan dan penangkapan terduga
teroris berjumlah 396 orang, tahun 2019 ada 11 aksi dan 297
penangkapan, tahun 2020 ada 11 aksi dan 242 penangkapan, tahun 2021
ada 6 aksi dan 345 penangkapan serta tahun 2022 ada 2 aksi dan 247
penangkapan.

BNPT juga menghadirkan Pendiri NII Crisis Center yang juga mantan
aktifis gerakan NII yaitu Ken Setiawan untuk memaparkan perkembangan
jaringan paham radikalisme dan terorisme di Provinsi Lampung.

Menurut Ken, Secara historis, NII merupakan kelompok pemberontak yang
mempolitisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Gerakan yang
dimotori oleh Kartosuwiryo memiliki impian menegakkan negara Islam.

Gerakan perlawanan terhadap negara yang baru merdeka dimulai sejak
tahun 1949 yang mencapai puncaknya pada tahun 1962. Secara organisasi,
NII dilumpuhkan, tetapi secara ideologi terus bergentayangan membentuk
faksi-faksi baru, termasuk Lampung menjadi salah satu basis perekrutan
dan pelatihan.

Secara ideologi, gerakan NII tetap hidup dan mengilhami beberapa
aktivis dan anggotanya untuk melompat ke arah yang lebih ekstrem dalam
gerakan dan organisasi teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS.

“Tidak salah jika dikatakan bahwa ibu kandung terorisme di Indonesia
adalah NII,” imbuh Ken.

Ken mengungkapkan, Jamaah Islamiyah yang telah tercantum dalam daftar
terduga teroris dan organisasi teroris (DTTOT) merupakan anak turunan
dari NII yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Lahirnya JI merupakan ketidakpuasaan terhadap gerakan NII yang hanya
bersifat lokal.

JI membuka peluang untuk berjejaring secara gerakan yang lebih luas.
JI kemudian berafiliasi secara global dengan al-Qaeda memainkan peran
cukup penting dalam rentetan aksi teror di Indonesia di awal tahun
2000an.

JI yang kemudian menjadi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terpecah
dan berdiaspora dengan membentuk jaringan teror di Indonesia seperti
Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB),
Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan
Jamaah Ansharut Khilafah (JAK).

Pada Maret 2022 Densus 88 AT Polri menangkap 16 anggota NII di
Sumatera Barat. Pada 16 Desember yang lalu 3 anggota NII juga
ditangkap di Banten. Sepanjang tahun 2023, Densus telah mengamankan
142 tersangka terorisme dan 5 di antaranya adalah anggota jaringan
NII.

Jika dibandingkan tahun 2022, ada 247 yang diamankan dengan 28 orang
adalah anggota NII. Melihat sebaran itu, NII sejatinya bukan hanya
induk, tetapi juga masih eksis membangun jaringan, penguatan
kaderisasi, pendanaan dan pelatihan untuk memperkuat organisasinya
seperti organisasi teror lainnya.

“Bagi NII, doktrin yang diterapkan bahwa NKRI telah lama menjajah NII.
Karena itulah, membutuhkan gerakan dan kader untuk melawan dan merubah
ideologi dan sistem negara ini,” ungkap Ken.

Proses pererkutan dan kaderisasi NII tidak hanya menyasar orang
dewasa, tetapi juga anak-anak. Kabar yang pernah menghebohkan,
misalnya, tahun 2021 sebanyak 59 anak dibaiat oleh NII yang digelar di
sebuah masjid di Garut.

Di Sumbar menurut data kepolisian ada sekitar 1.257 anggota NII dan
400 orang merupakan anggota aktif. Dari jumlah itu 77 orang anak-anak
di bawah usia 17 tahun yang dicuci otak dan berbaiat kepada NII.

NII adalah sel tidur terorisme yang terus bergerak aktif di bawah
tanah dengan menyiapkan amunisi gerakan yang besar pada waktunya.
Dalam perjalanannya, memang masih ada yang konsisten dalam gerakan
NII, tetapi juga ada yang tidak puas dengan melompat dalam jaringan
teror yang lebih luas.

“Namun, secara akar pemikiran, NII merupakan ideologi yang memberikan
landasan kuat bagi gerakan teror di Indonesia,” tandas Ken