Penegakan Hukum FTF Indonesia, Quo Vadis?

Meningkatnya bahaya Foreign Terorist Fighters (FTF) semakin terlihat jelas belakangan ini. Hal inidiperparah puladengan masih mangkraknya nasib revisi undang-undang terorisme yang hingga kini belum jelas nasibnya. Padahal, instrumen hukum tersebut memiliki peranan penting dalam upaya pemberantasan terorisme hingga ke akar-akaranya, termasuk untuk kasus FTF.

Berbeda dengan kasus radikalisme dan terorisme yang lain, FTF memiliki ‘kelasnya’ tersendiri. Para teroris FTF terdiri dari orang-orang yang telah mengalami doktrinasi radikal dan memiliki pengalaman tempur di lapangan, karenanya potensi bahaya yang ditimbulkan oleh FTF sangatlah besar. Menunda-nunda pengesahan Revisi UU anti terorisme sama saja dengan menyiapkan tiang gantung untuk bangsa ini.

Seperti telah jamak diketahui, Indonesia kini telah masuk dalam pusaran target kelompok teroris. Terutama dengan semakin menguatnya kelompok-kelompok teroris di negara tetangga (Filipina), Indonesia sudah selayaknya meningkatkan level siaga. Kelompok-kelompok brutal yang selama ini terpisah, seperti kelompok Maute, kelompok Abu Sayyaf serta turunan dan pecahan MNLP mulai bersatu dan bersama-sama menggalang kekuatan. Bahkan, Isnilon Tontoni Phapilon yang merupakan tokoh garis keras kelompok Abu Sayaf telah ‘resmi’ ditunjuk untuk menjadi pimpinan ISIS di wilayat (provinsi jauh ISIS).

Meski belum memiliki korelasi langsung, namun terorisme di Indonesia tetaplah menjadi ancaman laten yang dapat membuka segala kemungkinan, termasuk kemungkinan masuknya FTF dari banyak negara. Terutama dengan semakin terpojoknya posisi ISIS di Irak dan Suriah, bukan tidak mungkin, para milisi yang kalah itu akan mencari pembalasan di Indonesia yang telah menjadi rumah untuk jutaan umat Islam.

Dengan kondisi ini, pemerintah tentu tidak boleh mengulur waktu lebih lama lagi untuk menentukan sikap. Selain melakukan upaya persuasif, sisi penegakan hukum harus pula diberi porsi yang berimbang. Mengutip teori Routine Activities yang dikemukakan oleh Marcus Felson and Lawrence E. Cohen pada 1979, kejahatan akan muncul jika terdapat tiga komponen berikut dalam ruang dan waktu yang sama, yakni: motivated offenders (pelaku yang memiliki motivasi), suitable targets (target yang sesuai), dan the absence of capable guardians or protectors (tidak adanya penjaga atau pelindung)(Ken W. Balusek, 2007, hal. 253).

Sebagai motivated offenders, FTF adalah subyek untuk potensi kejahatan yang sangat berbahaya. Otak mereka telah dipenuhi dengan delusi pendirian negara agama yang akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menghilangkan nyawa orang-orang yang tidak sependapat dengannya. Jika FTF bertemu dengan masyarakat yang menjadi suitable targets tanpa dibarengi dengan keberadaan penjaga atau pelindung (guardians or protectors) yang capable, maka tinggal tunggu waktu saja hingga pertemuan ini berubah menjadi lingkar kejahatan yang sulit diatasi.

Kunci utama dari pemberantasan kejahatan, seperti disebut oleh teori di atas, adalah keberadaan guardian yang bisa (bukan hanya ‘ada’). Karenanya pemerintah perlu untuk memastikan bahwa aparatnya ‘bisa’ melindungi masyarakat dari bahaya FTF. Salah satu yang perlu segera dilakukan adalah mensahkan revisi undang-undang anti terorisme, di mana di dalamnya terdapat panduan dan dasar hukum untuk mengambil tindakan terkait FTF. Dengan disahkannya instrumen hukum ini, maka aparat negara tidak lagi menjadi guardian yang hanya ‘ada’, tetapi juga ‘bisa’ untuk mengambil tindakan-tindakan tepat guna menanggulangi bahaya yang dibawa oleh FTF sesuai dengan hukum yang berlaku.

Selama ini, tindakan yang dilakukan aparat terhadap FTF hanya didasarkan pada good will untuk kebaikan NKRI. Landasan semacam ini tentu –meskipun perlu, namun —tidak kuat. aparat hanya tersebar di titik-titik tertentu saja. Untuk konteks bandar udara misalnya, pengawasan hanya terpusat di Bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta, padahal ada 30 bandara internasional lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Bandara-bandara ‘tanpa penjagaan’ tersebut jelas menjadi lubang kosong yang harus segera ditutup.

Kasus pulangnya simpatisan ISIS hasil usiran dari Turki yang mendarat di Bandara Ngurah Rai di Bali beberapa waktu yang lalu (baca di sini – Lima WNI yg Diduga ISIS Tiba Di Bali) menjadi bukti bahwa pola penjagaan yang hanya difokuskan pada satu titik saja telah dibaca oleh kelompok FTF. Hal ini tidak bisa dibiarkan, jajaran aparat harus segera dibisakan dan diletakkan di garis-garis depan untuk menghalau bahaya FTF yang kian mengkhawatirkan. Terorisme memang sangat menakutkan, namun bukan berarti ia tidak bisa dikalahkan. Sahkan revisi undang-undang, terorisme siap kita tendang!