Dua hari lalu, Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai menegaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua tahun ke depan akan memperkuat posisi dasar pemerintah pusat yakni mengonsolidasi otonomi khusus bagi Tanah Papua.
“Sebagai langkah konkret, sistem di tubuh pemerintah terus bekerja untuk bangun komunikasi yang konstruktif. Presiden SBY harapkan dalam dua tahun ke depan (2013-2014) menghasilkan kebijakan sosial-politik yang lebih fundamental bagi Papua,” kata Velix di Jakarta, Rabu (5/12).
Taruhan Politik
Pada dasarnya, kebijakan Otsus adalah sebuah “taruhan” politik baru untuk menyelesaikan masalah Papua. Bahwa dalam 25 tahun (mulai 2001 – 2026) wajah kemiskinan Papua akan berubah.
Disebut “taruhan” karena ada ratusan triliunan rupiah uang rakyat (dana otsus) yang sudah dan terus dikucurkan ke Papua, dengandead-line 25 tahun, dan jaminannya adalah WAJAH KEMISKINAN PAPUA HARUS BERUBAH.
Bagaimana jika GAGAL? Risiko paling buruk adalah PAPUA MERDEKA. Itulah deal lain yang terselubung di balik kebijakan hasil reformasi itu. Kalau boleh jujur, Otsus itu ada karena adanya aspirasi Papua MERDEKA itu. Namun perlu juga disadari bahwa di belahan negara manapun, format otonomi khusus (asymmetrical autonomy) merupakan jalan tengah penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dan daerah-daerah tertentu yang bergejolak.
Maka demi keutuhan NKRI, Negara tidak boleh gagal. Caranya? Tidak cukup hanya dengan semboyan ‘NKRI harga mati’, tetapi melalui upaya-upaya pembangunan yang lebih bermartabat. Di antaranya melalui Inpres No. 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Melalui Inpres itu Presiden SBY menetapkan kesepakatan baru bagi Papua (New Deal for Papua) berupa desain pembangunan yang bersifat diskriminasi positif (affirmative policies) bagi penegakkan hak-hak dasar penduduk asli Papua.
Hasilnya? Boleh dibilang lumayan, kendati masih dinilai oleh sementara pihak bahwa belum maksimal. Namun faktanya, dalam 5 tahun terakhir ada sejumlah perubahan yang cukup berarti di Papua dan Papua Barat. Indikatornya tampak pada Indeks Pembangunan Manusia yang meningkat, Angka Harapan Hidup meningkat, tingkat pengangguran menurun, dan prosentasi penduduk miskin juga menurun dari sekitar 36 persen menjadi 31,11 persen untuk Papua dan 28,20 persen untuk Papua Barat. Memang di tingkat nasional, kedua provinsi ini masih tergolong tertinggi tingkat kemiskinannya, namun Pemerintah menilai ada perubahan yang membaik di dalam 5 tahun terakhir ini.
Sebagai hasil evaluasi dan koreksi atas strategi affirmatif ini, tahun 2011 Presiden SBY menetapkan strategi yang lebih komprehensif guna Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Melalui kebijakan baru ini, Presiden SBY ingin pembangunan Papua didasarkan atas pendekatan kawasan, terutama kawasan terisolir dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah Papua, perbatasan negara, daerah tertinggal, pesisir, dan pulau kecil terluar.
Bagaimana ke depan?
Beberapa poin yang bisa saya tawarkan melalui tulisan sederhana ini demi memajukan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI :
Pertama, mengurangi resistensi untuk menjamin tercapainya tujuansesuai target waktu yang telah ditetapkan (baca: dipertaruhkan) dalam UU Otsus, yakni tahun 2026. Bentuk-bentuk resistensi itu kita bisa pinjam istilah Lemhanas yaitu ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan).
Kita sadari bersama bahwa salah satu bentuk ATHG dimaksud antara lain belum sinkronnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan program-program Otsus. Untuk tujuan ini, langkah yang telah ditempuh oleh Pemerintah adalah membentuk unit kerja untuk mengawal percepatan pembangunan Papua atau yang kita kenal dengan UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) yang dikomandani Bambang Dharmono
Selain itu, yang tak kalah pentingnya, adalah sengitnya PERLAWANAN dari para aktivis Papua merdeka dan “sindikatnya” baik dari dalam negeri maupun dari sejumlah negara asing yang memang punya kepentingan terselubung di Tanah Papua. Solusi paling tepat untuk mengatasinya adalah PENEGAKAN HUKUM. Dan hal itu sedang gencar-gencarnya dilaksanakan oleh aparat keamanan dan aparat penegak hukum di Papua saat ini.
Kedua, sambil secara arif menghadapi semua resistensi, mencari strategi terbaik untuk mempercepat pencapaian kemajuan bagi Papua dengan sumber dana yang terukur. Seperti, pembangunan sejumlah infrastruktur di wilayah pedalaman Papua, pembukaan lahan pertanian dan peternakan rakyat, penguatan sistem transportasi terpadu untuk menurunkan tingkat kemahalan, dan desain anggaran dan sistem insentif yang tepat sesuai indeks konstruksi kemahalan.
Beberapa langkah yang sudah ditempuh pemerintah untuk tujuan ini, antara lain sejak TA 2012 ini Presiden SBY melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan luncurkan Program Adik Papua (Afirmatif Dikti Putra-Putri Papua) yang memberikan akses dan kuota kepada putra-putri Papua di Perguruan Tinggi di luar Papua. Presiden SBY juga mendorong pemberian kesempatan dan kuota untuk menjadi anggota TNI dan Polri, sekolah di AKMIL dan AKPOL, sekolah pilot, STAN, STPDN, Sekolah Statistik, dan Sekolah Tinggi Pertanahan. Bahkan Presiden SBY telah mengubah regulasi nasional untuk membuka kesempatan kepada pengusaha-pengusaha asli Papua untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dari APBN dan APBD (Perpres No.84/2012).
Ketiga, selalu terbuka berdialog untuk menerima pandangan perihal langkah-langkah afirmatif apa lagi yang dibutuhkan oleh orang asli Papua. Presiden SBY juga tidak menutup mata atas segala kekurangan yang terjadi di dalam pembangunan. Saya kira Presiden SBY senantiasa menunggu masukan apakah yang masih dirasakan kurang oleh orang asli Papua, apakah dalam aspek regulasi sektoral, pembangunan, sosial politik, dan kebudayaan. Dalam konteks inilah, sejak akhir Juni 2012 lalu melalui pertemuan dengan para pimpinan dan tokoh gereja dari Tanah Papua, Presiden SBY telah tegaskan untuk siap dan terus membuka ruang dialog bagi kemajuan dan kesejahteraan orang asli Papua sebagai bagian dari NKRI.
Tetapi, Pemerintah tidak membuka ruang dialog bagi keinginan memisahkan Papua dari NKRI. Adalah tugas konstitusi untuk menjaga kedaulatan nasional. Komitmen Presiden SBY ini sejalan pula dengan apa yang ditegaskan Presiden Abdurrahman Wahid ketika berdialog dengan tokoh-tokoh Papua pada 31 Desember 1999 yang tidak mentolerir tindakan untuk membentuk negara di dalam negara.
Terakhir, secara pribadi saya mengapresiasi tekad Presiden SBY yang ingin mengakhiri sisa masa bhaktinya dalam dua tahun ke depan dengan meluncurkan komitmen ‘Papua Tanah Damai’ (Papua Land of Peace) sebagai konstruksi sosial politik yang harus dipegang oleh semua pihak, baik Pemerintah di Jakarta maupun berbagai kelompok-kelompok strategis di Tanah Papua. Salam Damai… [Kompasiana]