Tanggal 24 April lalu Tim Datasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri menangkap seorang pria terduga teroris jaringan Santoso. Belakangan ia diketahui bernama Basri yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren Tanfizul Quran di kelurahan Manuruki, Biringkanaya, Makasar. Basri dicurigai memiliki peran aktif dalam jaringan terorisme dimana ia bertindak sebagai perekrut orang untuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Selain dirinya, polisi juga menangkap 11 orang lainnya yang terkait dengan Basri.
Penangkapan serupa telah terjadi berulang kali, namun meskipun beda rupa, ciri dari orang-orang yang gandrung pada faham terorisme ini sama, yakni anti pada lingkungan sekitarnya. Ketua RT tempat Basri tinggal mengaku bahwa Basri dan pesantrennya tidak terbuka pada masyarakat. Bukan hanya dia, para santri yang tinggal dan belajar di pesantrennya juga diakui sangat jarang berinteraksi dengan masyarakat.
Basri sendiri sebenarnya sudah beberapa kali mencoba melakukan ceramah di masjid-masjid sekitar, namun warga tidak terlalu tertarik dengan ceramahnya. Ia kemudian mendirikan pesantren sendiri. Pesantren yang ia dirikan memiliki bendera berwarna hitam dengan design yang agak mirip dengan bendera ISIS. Para santri yang tinggal di pesantren tersebut juga mengenakan pakaian serba hitam layaknya tentara ISIS. Masih menurut si ketua RT, ia kerap mendengar selentingan kabar bahwa Basri dan pesantrennya bersedia membayar siapa saja yang ingin bergabung dengan kelompok teroris ISIS.
Dari rentetan peristiwa penangkapan pelaku terorisme yang terjadi di negeri ini, terdapat setidaknya satu narasi yang sama, yakni mereka adalah orang-orang yang menutup diri dari kehidupan sosialnya. Hal ini memunculkan kesan bahwa mereka tidak perduli lagi dengan hiruk pikuk kehidupan bermasyarakat. Putusnya ikatan sosial bisa menjadi awal bagi tumbuhnya sikap ‘tega’ melakukan onar. Mungkin dia berfikir sedang ‘bertetangga’ langsung dengan Tuhan, sehingga ia merasa telah begitu dekat dengan surga.
Namun hal ini sesungguhnya justru memunculkan kejanggalan, mengapa mereka harus menutup diri? Apa yang mereka sembunyikan? Karena, jika benar sedang menyampaikan ajaran agama yang baik seharusnya mereka tidak menyembunyikannya. Masyarakat berhak untuk tahu ajaran-ajaran yang baik. Sikap menutup diri dan menjaga jarak dengan masyarakat (yang notabenenya adalah masyarakat yang baik) adalah indikasi bahwa ada yang tidak baik dari ajaran yang mereka bawa.
Dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa suatu ketika Ibnu Mas’ud RA berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengar sesuatu dariku lalu menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, karena kadangkala orang yang diberi penyampaian itu lebih bisa memahami daripada orang yang mendengar langsung.” (HR. Tirmidzi).
Masyarakat dan kita semua perlu untuk mulai lebih teliti terhadap ajaran-ajaran yang disampaikan oleh orang atau kelompok tertentu, terutama jika orang tersebut bukan orang yang kita kenal. Selain memperhatikan isi ajaran yang disampaikan, kita juga harus teliti mengamati bagaimana ajaran tersebut disampaikan. Ingat, ajaran yang baik hanya tepat untuk disampaikan dengan cara-cara yang baik pula, yakni yang jauh dari kesan permusuhan dan perpecahan. Wallahu a’lam bishawab.