Radikalisme telah menjadi ancaman, bukan saja untuk kita, tetapi juga untuk mereka; para radikalis yang kesadarannya semakin menipis. Sudah jamak diketahui bahwa radikalisme adalah ibu kandung terorisme, pemahaman yang sempit terhadap ajaran agama rawan melahirkan gerakan ‘atas nama’ agama yang menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan yang tidak pernah disukai Tuhan.
Meski demikian perlu dipahami bahwa radikalisme tidak berasal dari ruang kosong, ia tidak tiba-tiba saja ada. Paham sempit yang membuat kewarasan semakin terhimpit ini muncul setidaknya melalui empat tahap, yakni pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi (aksi).
Pra-radikalisasi merupakan pra-kondisi bagi persemaian radikalisme, dalam tahap ini muncul hal-hal yang memberi dorongan bagi seseorang untuk menjadi radikal. Hal-hal yang menjadi pendorong tersebut bukan saja berkaitan dengan agama, tetapi menyangkut banyak hal, seperti kondisi ekonomi, sosial, dll. Pada tahap ini seseorang mulai merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu, menciptakan perubahan, baik untuk perkembangan pemahamannya maupun untuk kondisi hidupnya.
Keinginan untuk berubah tersebut kemudian mengantarkan seseorang untuk memasuki tahap yang kedua, yakni identifikasi diri. Tahap ini berkaitan dengan proses memposisikan diri dalam agamanya, “siapa saya dalam agama?”, “Apa peran saya dalam agama”, “apakah saya korban, apakah saya pejuang?”, dll. Radikalisme muncul dari anggapan bahwa seseorang berada dalam posisi ‘korban’, ia merasa dizalimi karena agama yang ia anut, karenanya ia merasa memiliki tuntutan untuk melakukan perubahan dengan cara perjuangan.
Hal ini terjadi pada banyak orang radikal, salah seorang napi terorisme pernah berujar betapa ia merasa telah melakukan banyak kesalahan, ia memakan banyak uang haram, dosanya pasti sudah menggunung. Hal itu membuatnya gelisah, karenanya ia memutuskan untuk berhenti dari kelamnya hidup yang ia jalani. Ia mulai memilih guru agama yang ia percaya mampu mengantarnya menuju kebaikan.
Belajar agama sebaiknya dengan guru, meskipun agama merupakan sebuah fitrah, namun belajar agama memang bukan hal yang mudah. Begitun pentingnya fungsi dan posisi guru dalam hal ini, hingga proses memilih guru tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Kalau sampai salah pilih, guru yang seharusnya mengantar kita menjadi agamis justru akan menjerumuskan kita menjadi radikalis. Ini tidak boleh terjadi.
Kegelisahan merupakan lahan subur bagi radikalisme, sementara pengajaran agama yang salah (indoktrinasi) adalah penyemai radikalisme. Orang yang gelisah cenderung akan mudah menelan mentah-mentah segala hal yang dikatakan oleh si guru, salah-benar tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Pada kondisi seperti inilah radikalisme menjalar dan akhrinya mengakar.
Akhirnya, tahap terakhir pun terjadi. Orang-orang yang gelisah itu diarahkan untuk mengira bahwa agama menghendaki kekerasan dan kehancuran, mereka kemudian digiring untuk turun ke jalan-jalan menenteng kesombongan dan kenaifan untuk menghancurkan persatuan, sambil mengira itu semua adalah perintah tuhan. Mereka rela berbuat jahat karena mengira itu semua adalah jihad. Segala yang mereka lakukan, meskipun salah, diartikan sebagai jihad. Inilah yang dimaksud dengan jihadisasi, segalanya diatasnamakan jihad.
Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan, para begundal itu tidak boleh terus-terusan berbuat aniaya dengan berlindung dibalik tafsiran sempit agama. Belajar agama tidak sama dengan belajar karaoke, cukup menghafalkan, hanya bisa mengucapkan, namun tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang seimbang. Itulah masalah utama kelompok radikal, mereka memahami agama secara sempit dan cenderung anti terhadap tafsir.
Ketika dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sholat harus membekas misalnya, kelompok radikal cenderung mengartikan perintah itu secara literal. Yakni bahwa sholat harus ada bekasnya, bekas yang bisa dilihat oleh kasat mata. Padahal banyak ulama dan cendekiawan muslim yang menjelaskan ‘bekas’ yang dimaksud terletak pada perbaikan pola pikir dan sikap, bukan hanya tanda hitam di jidat.
Radikalisme bisa dilawan dengan tiga cara berikut: 1) belajar agama dengan memahami maknanya, jangan seperti karaoke, yang hanya bisa mengucapkan namun gagal memahami maksudnya. 2) kontekstual, agama adalah sesuatu yang sifatnya aktual. Ia tidak berhenti pada suatu ruang dan waktu tertentu, ia mengalami perkembangan, karenanya agama harus dipahami dan dijalani secara kontekstual. Dan yang terakhir (3) selalu membuka diri untuk second opinion, belajar agama sebaiknya dengan bimbingan guru, namun demikian sikap kritis dan aktual harus selalu dikedepankan.
Kita semua percaya bahwa agama diturunkan untuk kebaikan dan perbaikan, karenanya radikalisme yang memamerkan kekerasan dan kerusakan bertentangan dengan tujuan dan hakikat utama agama. Kita semua bisa melawannya,,,
Semoga bermanfaat.