Bandung — Ancaman radikalisme kini menyasar kelompok paling rentan: anak-anak. Temuan Densus 88 mengungkap sebanyak 110 anak di Indonesia teridentifikasi direkrut oleh jaringan terorisme. Dari data tersebut, Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan tingkat keterpaparan tertinggi, terutama melalui dunia digital.
Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudi Setiawan melalui Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Hendra Rochmawan mengakui adanya pergeseran pola perekrutan kelompok radikal. Jika sebelumnya dilakukan secara konvensional melalui pertemuan langsung seperti pengajian tertutup, kini metode tersebut bergeser ke media sosial yang dinilai lebih masif dan efektif.
“Metode terbaru, yang sebenarnya sudah berlangsung cukup lama dan lebih efektif, adalah melalui media sosial,” ujar Kombes Pol Hendra Rochmawan, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, kelompok radikal secara khusus membidik generasi Z dengan memanfaatkan ketergantungan anak dan remaja terhadap gawai dan platform digital. Kondisi ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena ruang digital menjadi pintu masuk utama penyebaran ideologi ekstrem.
“Penggunaan gadget di kalangan generasi Z di Indonesia sangat masif. Ini dimanfaatkan kelompok terorisme untuk mempengaruhi dan merekrut anak-anak,” katanya.
Hendra menjelaskan, kerentanan anak terhadap perekrutan terorisme tidak berdiri sendiri. Faktor lingkungan, pendidikan, hingga tekanan ekonomi turut membuka celah bagi kelompok radikal untuk menyasar anak-anak yang dianggap mudah dipengaruhi.
“Kemiskinan, keterbatasan pendidikan, sulitnya lapangan pekerjaan, serta ketatnya persaingan kerja menjadi faktor yang memudahkan mereka direkrut dengan berbagai cara,” ujarnya.
Untuk menekan risiko tersebut, Polda Jawa Barat menyiapkan langkah pencegahan terpadu dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan daerah, termasuk tokoh masyarakat dan Da’i Kamtibmas. Pendekatan kolaboratif ini dinilai penting untuk memperkuat benteng sosial di tingkat keluarga dan komunitas.
Selain itu, kepolisian juga tengah merancang pembentukan satuan tugas di lingkungan sekolah dengan melibatkan langsung siswa. Upaya ini dipicu oleh meningkatnya kasus perundungan (bullying) yang dinilai memiliki dampak serius terhadap kondisi psikologis anak, sebagaimana terlihat dalam insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta, di mana pelaku diketahui merupakan korban perundungan.
“Kami akan membentuk satgas dengan melibatkan Humas, Binmas, dan Unit PPA. Siswa yang tergabung dalam PKS, OSIS, dan organisasi sekolah akan kami edukasi agar berani menjadi pelapor jika terjadi bullying,” jelasnya.
Menurut Hendra, deteksi dini di lingkungan sekolah menjadi kunci penting untuk mencegah anak terjerumus pada kekerasan, baik dalam bentuk radikalisme maupun tindakan ekstrem lainnya.
“Dampak bullying itu sangat besar. Karena itu, pencegahan harus dimulai dari sekolah dan melibatkan anak-anak itu sendiri,” pungkasnya
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!