Idul Adha sebagai Ajang Memperkuat Nilai Kemanusiaan yang Universal

Jakarta – Perayaan Idul Adha, atau yang juga sering disebut sebagai hari raya berkurban, adalah salah satu bentuk ibadah sebagai wujud kecintaan seorang muslim terhadap Allah. Ibadah yang telah dicontohkan sejak zaman Nabi Ibrahim ini tidak terbatas hanya pada penyembelihan hewan saja, namun juga mengandung aspek kemanusiaan dan kepedulian sosial dalam pelaksanaannya. Juga sebagai momentum untuk bahu-bahu menegakkan hal-hal baik dan menghalau yang tidak baik seperti radikalisme dan intoleransi.

Menguraikan makna dari perayaan Idul Adha, Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, Lc., M.Hum., mengatakan bahwa perayaan kurban sebenarnya adalah untuk menghayati kisah Nabi Ibrahim. Di masanya, Ibrahim diberi wahyu melalui mimpi untuk menyembelih putranya sendiri, yang pada akhirnya diganti dengan seekor domba dan putra kesayangannya pun selamat.

“Andaikata peristiwa itu (menyembelih anak sendiri) sampai terjadi, kan seperti tragedi kemanusiaan, tapi itu kan nggak terjadi. Kenapa tidak terjadi? Karena Nabi Ibrahim sebetulnya bukan diperintahkan untuk menyembelih putranya dalam pengertian hakiki, tapi diperintahkan untuk menyembelih kecintaannya yang berlebih kepada yang selain Allah SWT,” terang Dr. Syarif di Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Menurutnya, peristiwa turunnya perintah untuk berkurban pada Nabi Ibrahim menjadi panduan bagi generasi setelahnya dalam menunjukkan ketakwaan pada Allah, Tuhan alam semesta. Berkurban tidak semata-mata hanya menyembelih hewan yang dikurbankan, tapi juga egoisme manusia itu sendiri. Dengan perayaan kurban, manusia diingatkan bahwa yang patut dicintai dan diprioritaskan hanyalah Allah, bukan yang lainnya.

Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini mengungkapkan bahwa perayaan kurban juga sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Hewan kurban yang telah disembelih bukanlah untuk dimakan sendiri, tapi untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar. Tujuannya, agar sebagian orang yang kurang beruntung bisa ikut merasakan nikmatnya daging kambing, sapi, kerbau, ataupun unta jika di negara-negara timur tengah.

“Konteks lain dari berkurban adalah untuk membagikan kebahagiaan kepada sesama manusia, dalam bentuk daging kurban. Tidak semua orang punya kesempatan yang sama untuk bisa makan daging kapanpun mereka inginkan. Melalui hari Idul Adha, setidaknya ada waktu satu kali dalam setahun, umat Islam bisa makan daging kambing ataupun sapi, khususnya bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi,” tambahnya.

Dalam suatu ayat Alquran, Allah berfirman bahwa Ia tidak membutuhkan daging dari hewan yang dikurbankan, melainkan yang sampai pada Allah adalah ketakwaan dari mereka yang melaksanakan kurban. Nilai dari ketakwaan ini juga, menurut Dr. Syarif, menjadi penggerak umat Islam yang berkurban untuk mau berbagi pada sesamanya. Kemauan melaksanakan kurban juga menjadi penanda diakui atau tidaknya seseorang menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad.

“Ada suatu hadis dari Abu Hurairah, riwayatnya Abu Hurairah, nanti bisa kita temukan di Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah, Rasulullah S.A.W. pernah bersabda, ‘orang yang mempunyai kecukupan rezeki untuk bisa berkurban, tapi dia tidak mau berkurban dan tidak peduli lagi keadaan orang di kanan-kirinya, dia mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang universal, maka jangan dekat-dekat ke tempat salat kami, ke masjid kami,’” jelas Dr. Syarif.

Dr. Syarif berharap agar perayaan kurban tidak dimaknai sempit hanya sebagai ritual tahunan semata. Kurban bukanlah pemenuhan keinginan ritual individu tertentu saja, namun menitikberatkan pula pada aspek kemanfaatan bagi manusia lainnya. Hari raya berkurban juga bukanlah ajang untuk saling pamer ukuran dan jumlah hewan yang dikurbankan.

“Seharusnya ada peningkatan pemahaman terhadap berkurban itu sendiri dari tahun ke tahun, sehingga tidak ada istilah ingin memamerkan kemampuan dalam membeli hewan kurban. Jangan lupa pula bahwa berkurban adalah ibadah yang sarat dengan aspek kepedulian sosial, dan selayaknya ada di atas kepentingan atau egoisme pribadi. Karenanya, berkurban seolah menjadi suatu pengikat atau tali sosial dalam hidup bermasyarakat,” imbuh Dr. Syarif.

Dr. Syarif yang juga aktif sebagai Pembina Yayasan Raudhatul Mustariyah ini juga menjelaskan, perayaan kurban bisa mempererat ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah. Bentuk persaudaraan ini tidak lagi memandang agamanya, ataupun asal negaranya, tapi memaknainya dengan melihat bahwa siapapun dia, juga sesama manusia dan makhluknya Allah.

“Melalui perayaan Idul Adha atau berkurban, kita harus bahu membahu dalam menegakkan atau melakukan hal-hal yang baik, dan menghalau semua yang tidak baik, termasuk dalam hal ini adalah ideologi-ideologi yang merusak, yang mengajarkan kekerasan, tindakan radikal, intoleran dan lain sebagainya,” pungkasnya.