Pemenuhan Hak Korban, Daerah Harus Miliki Basis Data Korban Terorisme

Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) memandang perlunya daerah memiliki basis data para korban
terorisme untuk memudahkan pemenuhan hak korban dan keluarganya.

“Mengidentifikasi para korban dan penyintas ini perlu database.
Mungkin perlu ada database di setiap daerah. Kalau sudah punya RAD
(Rencana Aksi Daerah), bagus, diikuti database,” kata Wakil Ketua
Komnas Perempuan Olivia Salampessy dalam acara Peluncuran Hasil Kajian
dan Hasil Pemetaan Pengalaman Perempuan Terdampak Terorisme”, di
Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Pasalnya Komnas Perempuan menemukan ketidaksinergisan koordinasi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berdampak pada akses
layanan terhadap para penyintas mengalami hambatan, karena isu
terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat, sehingga
kondisi korban menjadi terabaikan pada aspek-aspek kehidupan yang
dapat mendukung pemulihan.

Kemudian layanan kedaruratan medis untuk para korban bom bunuh diri
seringkali menghadapi hambatan birokrasi administrasi sehingga
terdapat penundaan pada kedaruratan keselamatan nyawa dan kesehatan
para korban.

Layanan pemulihan fisik yang terbatas yang dihadapi oleh para
penyintas memaksa korban fokus pada kesembuhan luka fisik yang
diderita.

“Mereka berupaya secara mandiri, bahkan dengan biaya sendiri.
Kesulitan akses karena kondisi fisik yang masih lemah, memberikan
beban biaya tambahan untuk perawatan medis lanjutan,” kata Olivia
Salampessy.

Selain itu, layanan pemulihan psikis yang terbatas yang hanya
berjangka pendek menyebabkan rasa trauma dan penderitaan psikis yang
dialami para penyintas dan keluarga belum benar-benar terpulihkan.

Komnas Perempuan melakukan kajian dan pemetaan terhadap korban
terorisme dan keluarganya di Surabaya, Bali, Poso, dan Jakarta untuk
melihat dampak jangka panjang dari tindakan terorisme dan untuk
melihat bagaimana proses pemulihan korban dan rehabilitasi yang
berkelanjutan.

Dari kajian tersebut, Komnas menemukan sejumlah hambatan dalam
penanganan terhadap korban, diantaranya ketidaksiagaan dalam layanan
darurat medis dan psikis pada korban, layanan medis yang parsial dan
tidak berkelanjutan, penanganan keamanan yang berlebihan, penanganan
yang tidak empati dan tidak berdasar kebutuhan korban, penggunaan
kekerasan terhadap korban dengan pemaksaan menandatangani keterangan
oleh polisi, pemulihan terbatas dan tidak berlanjut, dan bantuan dana
dan kompensasi yang tidak diiringi penjelasan serta tidak merata.