Harmonisasi Penyelenggaraan Negara melalui Kolaborasi Ulama – Umara

Semarang – Dalam peradaban Islam, umara/pemerintah dan ulama erat kaitannya, karena eksistensi dari salah satu sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kolaborasi ulama dan umara yang adil dan bijaksana, tidak hanya menghasilkan tata kelola pemerintahan yang efektif, namun juga dapat menjadi teladan bagi rakyat yang mereka pimpin.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag., mengatakan bahwa kedekatan kedua pihak ini pada dasarnya mampu membawa manfaat bagi banyak orang. Akrabnya kaum ulama dengan unsur pemerintahan di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, para kiai ikut menyerukan ribuan santrinya untuk ikut berjihad mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

“Hubungan ulama dan umara di indonesia begitu kuat, dan ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini bisa tergambar dari seruan Mbah Hasyim Asy’ari di masa perjuangan, yang berbunyi ‘hubbul wathan minal iman,’ artinya ‘cinta negara atau nasionalisme adalah bagian dari keimanan,’” jelas Prof. Syamsul di Semarang, Rabu (26/6/2024).

Menurutnya, ulama yang memiliki kedekatan tertentu dengan Pemerintah tidak bisa langsung dijustifikasi sebagai suatu kezaliman, apalagi jika menelisik akar historis simbiosis keduanya yang sudah tertanam bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka.

Alasan lainnya adalah belum tentu hasil akhir dari kolaborasi keduanya pasti menghasilkan kemudharatan bagi rakyat Indonesia. Umumnya, kolaborasi yang terjadi justru menghasilkan perundang-undangan dan tata kelola negara yang lebih komprehensif karena melibatkan ulama-ulama yang menjadi corong kepentingan masyarakat.

Prof. Syamsul yang juga menjabat sebagai Ketua FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme) Jawa Tengah periode 2022-2025 ini pun menyebutkan, eksistensi Indonesia sebagai negara multikultural turut didukung oleh para kiai dan ulama yang mampu mengakomodasi berbagai golongan budaya dan kepercayaan.

“Ulama moderat adalah kalangan yang lebih luwes dalam menyikapi perbedaan dan dinamika Indonesia sebagai suatu bangsa. Wajar jika kemudian dalam perkembangannya, mereka memiliki kedekatan tersendiri dengan Pemerintah Indonesia. Ulama moderat tidak hanya bicara dalam koridor hukum agama semata, namun juga bisa menempatkan kaidah agama dalam bingkai kenegaraan Indonesia,” terang Prof. Syamsul.

Akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini menilai adanya upaya delegitimasi dari kalangan tertentu terhadap ulama moderat dan para santri. Walaupun demikian, Prof. Syamsul menganggap bahwa narasi yang menyudutkan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai.

“Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar karena rasa cemburu pihak tertentu terhadap kerja sama yang baik antara ulama dan umara,” ujarnya.

Prof. Syamsul berpendapat, mereka yang kini dilirik Pemerintah untuk menempati posisi strategis di Indonesia bukanlah murni kedekatan personal semata, namun juga dengan kecakapan pribadi dan karakter yang dapat diandalkan. Terlebih lagi, dengan diberi wewenang yang lebih luas, kalangan agamis yang moderat juga dianggap bisa memberikan manfaat dan pengaruh positif dengan lebih luas.

“Menurut saya, justru akan semakin baik jika pengelolaan sumber daya dan kepentingan negara diserahkan pada orang-orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, daripada diserahkan ke orang yang kualitas agamanya dipertanyakan, atau bahkan tidak beragama,” imbuhnya.

Walaupun demikian, Prof. Syamsul juga tidak menampik bahwa ilmu agama dan kedekatan dengan Pemerintah tidak bisa dijadikan modal tunggal untuk mempromosikan diri seseorang, tanpa dibekali kemampuan pendukung lainnya. Masyarakat juga dihimbaunya agar tidak terlalu cepat menilai kapasitas seseorang atau kelompok tanpa mengetahui keseluruhan latar belakangnya.

“Rakyat Indonesia jangan mudah termakan narasi yang bernuansa dikotomis dan memecah belah persatuan bangsa. Kepercayaan Pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara terhadap ulama nusantara dalam pengelolaan hajat hidup orang banyak adalah bukti dari kontribusi nyata kalangan yang moderat dalam beragama. Peran ulama dan umara yang berkelindan justru dapat berfungsi sebagai pengingat serta kontrol sosial dan politik antara satu dengan lainnya,” pungkas Prof. Syamsul Maarif.