Yaqut Cholil Qoumas: Akar Radikalisme Agama Bukan Cuma Kemiskinan

Radikalisme keberagamaan mencuat, menyerang sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimana seyogianya menyikapi persoalan itu? Berikut perbincangan dengan ketua Pimpinan Pusat GPAnsor (2011-2016) dan anggota DPR, Yaqut Cholil Qoumas.

Belakangan ini, isu radikalisasi agama menyeruak. Seperti apa sih radikalisasi agama, terutama di Indonesia?

Radikalisme Islam secara garis besar menolak semua orang Islam di luar kelompoknya. Kita di mata mereka kafir, maka wajib diperangi. Dalam konteks Indonesia, radikalisme Islam memiliki agenda mengambil alih kekuasaan negara dan mengubah jadi negara Islam. Itu soal sangat serius. Mereka tak merasa sebagai orang Indonesia beragama Islam, tetapi orang Islam yang tinggal di Indonesia.

Apakah radikalisasi itu akan terus berkembang, tumbuh subur, di Indonesia seiring perkembangan radikalisasi di tingkat global?

Tidak, selama kita memiliki pemahaman yang sama tentang Indonesia berikut keragamannya. Namun jika sebaliknya, radikalisasi agama akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi informasi yang menciptakan kondisi borderless world; arus informasi bisa melintas batas antarnegara secara bebas tanpa hambatan berarti. Apalagi Indonesia kini telah menjadi “pasar” gemuk bagi aliran- aliran radikal agama karena jumlah umat Islam terbesar di dunia. Setiap kelompok radikal pasti tertarik memperluas “pasar” di Indonesia, baik untuk merekrut kader maupun sekadar mobilisasi dana.

Apa akar radikalisme agama di Indonesia? Apakah radikalisme agama itu jadi penyebab kemunculan terorisme di Indonesia?

Setidaknya ada tiga faktor yang menjadi akar paham radikal berkembang. Pertama, perkembangan di tingkat global. Kelompok- kelompok radikal menjadikan situasi di Timur Tengah sebagai inspirasi untuk mengangkat senjata dan aksi teror. Apa yang terjadi di Afghanistan, Palestina, Tunisia, Irak, Yaman, Syiria, dan seterusnya dipandang sebagai campur tangan Amerika, Israel, dan sekutunya. Aksi teror mereka anggap sebagai pembalasan atas campur tangan Amerika dan sekutunya, termasuk di Indonesia.

Itu sejalan dengan faktor kedua, yaitu ambisi Saudi yang kaya raya menjadi kekuatan berpengaruh di dunia Islam. Lihat sekarang betapa kelompok-kelompok radikal itu bergaya arabisme dan menyebarkan paham wahabi, yang jadi mainstreamdi Saudi.

Wahabisme bukan sekadar aliran, pemikiran, atau ideologi, melainkan mentalitas. Ciri mental itu antara lain gemar membuat batas kelompok yang rigid dan sempit dari kaum muslimin, sehingga dengan mudah mereka mengatakan di luar kelompok mereka adalah kafir, musuh, dan wajib diperangi. Mereka mengampanyekan teologi ketauhidan yang berpandangan orang maksiat saja sudah dianggap keluar dari Islam.

Ciri berikutnya, mereka gemar berkonfrontasi dengan kelompok di luar mereka. Bagi mereka, bukan Islam berarti musuh. Musuh berarti sesat. Sesat wajib disikat. Selain itu, mereka menghalalkan segala cara dengan kekerasan, memakai dalih nahi munkar sampai ke hal kecil dan remeh temeh.

Ketiga, kemiskinan, meski tak berpengaruh langsung. Orang miskin terasing dari lingkungan sekitar, minder, dan tak punya harapan. Situasi itu jadi persemaian subur bagi radikalisme dan terorisme. Bukan rahasia lagi, kelompok radikal menawarkan bayaran materi lumayan untuk merekrut anggota. Itu jadi daya tarik. Aksi teror mereka maknai sebagai jihad; jika mati, mereka mati sahid. Tak ada balasan bagi kematian sahid selain surga.

Bagaimana bahaya terorisme di Tanah Air?

Saat ini aksi terorisme menurun dari 2000-an. Namun akar terorisme, yaitu radikalisme agama, tetap tumbuh subur dan beroleh tempat di sebagian masyarakat. Ideologi khilafah, misalnya, tetap eksis dan negara berkesan tak peduli terhadap penyebaran ideologi itu. Padahal, ideologi khilafah jelas ideologi keagamaan sangat radikal karena mencitacitakan pendirian negara Islam.

Seberapa jauh pengaruh penyebaran bahaya terorisme terhadap ketenteraman dan keamanan masyarakat?

Tentu sangat merusak ketenteraman. Kita ingat, misalnya, pada era Presiden Gus Dur, para teroris meledakkan gereja dan bahkan ada anggota Banser sahid karena ledakan itu. Ketenteraman di masyarakat langsung terusik dan muncul saling tak percaya di antara umat beragama. Ketika kini teroris mengincar aparat negara seperti kasus peledakan bom saat salat jumat di Masjid Cirebon, rasa aman pun mencapai titik nadir. Bayangkan, masjid di markas polisi pun bisa dibom. Bagaimana di tempat lain?

Kini, muncul ISIS sebagai momok. Pemerintah menyatakan ISIS sebagai musuh bersama dan harus dibasmi. Bagaimana Anda mencermati fenomena itu?

Fenomena ISIS mempertegas anggapan Islam adalah agama yang identik dengan kemarahan, kebencian, dan permusuhan. Padahal, tak ada ajaran Islam yang menganjurkan kekerasan. Lebih berbahaya lagi klaim mereka yang menyatakan berhak memonopoli penafsiran dan penerapan hukum Islam. Gagasan menyatukan agama dan negara juga lahir dari klaim itu. Mereka menolak demokrasi dan menawarkan teokrasi atau khilafah.

Kenapa ISIS bisa jadi momok?

ISIS jadi menakutkan karena bersifat transnasional, melampaui batas negara dan leaderless terrorism, terorisme tanpa kepemimpinan. Bayangkan, kelompok radikal di Indonesia yang tak berkait langsung dengan ISIS, tiba-tiba sukarela berbaiat pada ISIS. ISIS kini jadi idola baru bagi segenap gerakan radikal di dunia. Nah, kelompok radikal di Indonesia yang berbaiat ke ISIS itu semacam fans club ISIS yang tak berkait langsung ke ISIS, tetapi terpesona dan mengidolakan ISIS.

Secara konkret apa ancaman ISIS bagi Indonesia, terutama bagi kaum muslim?

Jelas ISIS mengancam trilogi kerukunan beragama, yaitu sesama umat Islam, antarumat beragama, dan antara umat Islam dan pemerintah. ISIS menimbulkan ketidakpercayaan sosial, yang sulit dipulihkan. ISIS mengalihkan fokus umat Islam yang saat ini punyai agenda besar memberantas kemiskinan dan kebodohan bersama pemerintah. Umat Islam harus menoleh kembali ke belakang untuk mendakwahkan Islam rahmatan lil alamiin yang seharusnya sudah selesai.

Masyarakat sudah menolak bibit terorisme, termasuk ISIS, dengan berbagai spanduk dan ikrar penolakan bersama.

Belum cukup. Ingat, ISIS menampilkan diri sebagai idola dengan segala atribut dan perilaku atraktif dan menarik bagi kaum muda yang masih mengalami krisis identitas. Masyarakat, organisasi kemasyarakatan agama, dan pemerintah harus fokus mencegah ideologi radikal masuk ke kalangan muda, khususnya pelajar dan mahasiswa di sekolah/kampus umum yang dangkal pengetahuan agamanya, sehingga mudah tertipu bujuk rayu ISIS.

Apa langkah masyarakat dan pemerintah agar efektif memerangi terorisme?

Ada sedikit salah pandang pemerintah yang menganggap terorisme disebabkan oleh kemiskinan. Itu keliru. Terorisme disebabkan oleh radikalisme agama; radikalisme agama disebabkan oleh kedangkalan pengetahuan agama di masyarakat, khususnya generasi muda. Pemerintah harus memfasilitasi organisasi kemasyarakatan pelajar, mahasiswa, dan pemuda moderat seperti IPNU-IPPNU, PMII dan Ansor-Fatayat untuk berkiprah lebih luas di masyarakat.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mungkin bisa mencabut larangan bagi organisasi pelajar dan mahasiswa seperti IPNU dan PMII untuk beraktivitas di kampus. Ketentuan yang berlaku sejak Orde Baru itu menghambat penyebaran gagasan moderat di kalangan pelajar-mahasiswa, dan sebaliknya menyuburkan ideologi radikal di kalangan pelajarmahasiswa. (51)

sumber : http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/yaqut-cholil-qoumas-akar-radikalisme-agama-bukan-cuma-kemiskinan/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *