Jakarta – Bersampang adalah sebuah istilah yang sarat makna dalam
kearifan lokal masyarakat Kerajaan Ismahayana Landak atau Melayu
Landak, masih terus dilestarikan hingga kini. Istilah ini
menggambarkan tradisi berdoa, meminta, dan berkomunikasi kepada Allah
SWT dengan khidmat, sebagaimana diungkapkan oleh dua tokoh adat Melayu
Landak, Iskandar M Haris (Dato’ Duta Astana) dan Bilal Muhram (Ambo)
(Dato’ Kalam Negeri Ismahayana).
Iskandar M Haris, yang menjabat sebagai Ketua Majelis Adat Budaya
Melayu Landak periode 2005-2019, menjelaskan bahwa Besampang bukan
sekadar ritual, melainkan juga sebuah konsep pendidikan Islam yang
tradisional. Tradisi ini bermula dari masa Raja Abdul Kahar, Raja
Pertama Kerajaan Ismahayana Landak, yang memeluk Islam melalui
pengaruh Kesultanan Demak.
“Besampang mencerminkan bagaimana masyarakat Melayu Landak
menyelaraskan adat istiadat lokal dengan nilai-nilai Islam. Tradisi
ini mengajarkan kebersamaan dan penghormatan kepada Tuhan,” ujar
Iskandar.
Hal senada disampaikan oleh Bilal Muhram, Dato’ Kalam Istana
Ismahayana, yang menegaskan bahwa Besampang bukan hanya doa, tetapi
juga menjadi identitas masyarakat Melayu Landak dalam berbagai aspek
kehidupan.
“Tradisi ini masih dijalankan dalam berbagai acara, seperti
perkawinan, gunting rambut, pindah rumah, hingga kematian. Bacaan
dalam Besampang sarat dengan doa-doa, sehingga masyarakat sangat
mensakralkannya,” kata Muhram.
Keberadaan tradisi Besampang juga didukung oleh keterangan Gusti
Hermansyah, Pangeran Adipati Menteri Istana Ismahayana Landak, serta
Ya Muhammad Nata Riansyah, juru kunci makam Raden Abdul Kahar. Mereka
menjelaskan bahwa Besampang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan
sosial yang diwariskan oleh Raja Abdul Kahar, yang menyebarkan
pendidikan Islam dengan cara tradisional kepada rakyatnya.
Hingga kini, masyarakat Melayu Landak tetap menjaga tradisi Besampang
dengan penuh penghormatan. Setiap pelaksanaan tradisi ini menjadi
pengingat akan akar budaya dan keimanan yang kuat.
Iskandar M Haris menambahkan bahwa pelestarian Besampang memerlukan
peran generasi muda.
“Besampang adalah warisan yang kaya. Jika tidak kita jaga, kita akan
kehilangan identitas budaya dan agama kita,” tuturnya.
Tradisi ini menjadi salah satu bukti bahwa adat istiadat lokal mampu
beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, menciptakan harmoni yang terus
hidup di tengah masyarakat Melayu Landak.
Besampang, lebih dari sekadar tradisi, adalah bentuk penghormatan
kepada warisan leluhur dan pengabdian kepada Sang Pencipta, yang terus
mengakar di bumi Ismahayana Landak.
Tradisi berdoa atau memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki tempat
istimewa dalam kebudayaan masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Salah
satu istilah khas yang digunakan untuk menggambarkan tindakan ini
adalah “besampang,” yang memiliki arti serupa dengan “berdoa” atau
“memohon.”
Istilah ini umum dijumpai dalam dialek Melayu Ngabang dan mencerminkan
tradisi lisan serta nilai-nilai spiritual masyarakat setempat. Selain
“besampang,” istilah serupa seperti “berdoa” dan “bepamang” juga
digunakan, meskipun terdapat variasi tergantung pada dialek dan
pengaruh budaya lokal.