Yadnya Kasada 2025: Mengikat Kembali Harmoni Alam, Leluhur, dan Masyarakat Tengger

Bromo – Di tengah kabut pagi yang menyelimuti lautan pasir Gunung
Bromo, suara gamelan mengalun pelan. Di antara denting instrumen
tradisional dan bisikan angin pegunungan, masyarakat Tengger bersiap
melaksanakan salah satu ritual adat paling sakral di Tanah Jawa:
Yadnya Kasada.

Tahun ini, ritual tahunan tersebut dibalut dalam perhelatan “Sembah
Kasada Bhumi Hila-Hila Tengger” yang digelar pada 10–11 Juni 2025,
oleh Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan
Kebudayaan Tradisi. Mengusung tema “Seuntai Harapan Masyarakat Bhumi
Hila-Hila dalam Yadnya Kasada”, acara ini bukan hanya menjadi panggung
pelestarian adat, tapi juga momentum refleksi atas hubungan manusia
dengan alam dan spiritualitas.

Ritual Sakral yang Tak Pernah Padam

Yadnya Kasada merupakan puncak dari kepercayaan masyarakat Suku
Tengger terhadap Sang Hyang Widhi, atau yang mereka sebut Hong
Pukulun. Dalam tradisi ini, warga akan membawa persembahan berupa
hasil pertanian, ternak, dan sesaji lainnya ke kawah Gunung Bromo.
Ritual larung sesaji ini menjadi simbol pengorbanan, rasa syukur, dan
permohonan berkah kepada Sang Pencipta serta leluhur mereka, terutama
sosok legendaris Raden Kusuma.

Ritual ini bukan sekadar warisan turun-temurun, tetapi juga bagian
dari sistem nilai dan identitas kolektif masyarakat Tengger. Bagi
mereka, Kasada adalah cara menjaga keharmonisan hidup: antara manusia,
alam, dan kekuatan tak kasatmata.

Tak Hanya Ritual, Tapi Festival Budaya Penuh Makna

Sembah Kasada 2025 tak hanya menghadirkan prosesi spiritual, tetapi
juga digelar dalam format festival budaya. Selama dua hari, pengunjung
dan warga bisa menikmati:

– Pertunjukan seni tradisional Tengger, seperti tari-tarian sakral dan
tembang-tembang leluhur.

– Dialog budaya bersama tokoh adat dan budayawan.

– Pameran pangan lokal, yang menampilkan ragam hasil bumi khas Tengger
seperti kentang, kubis, dan jagung.

– Kuliner tradisional yang merepresentasikan kekayaan rasa dari dapur
masyarakat pegunungan.

– Pengukuhan Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai warga kehormatan
oleh para sesepuh adat Tengger, sebagai bentuk penghargaan atas peran
pemerintah dalam pelestarian budaya.

Dukungan Pemerintah dan Penguatan Masyarakat Adat

Dalam keterangannya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan bahwa
Yadnya Kasada adalah simbol penting dari spiritualitas, ekologi, dan
warisan budaya Indonesia.

“Melalui ritual ini, masyarakat Tengger memperkuat hubungan dengan
leluhur dan menjaga keseimbangan hidup dengan alam. Ini adalah wujud
nyata dari harmoni antara tradisi, lingkungan, dan kepercayaan,” ujar
Fadli, Rabu (11/6/2025).

Acara ini juga menjadi tindak lanjut dari rekomendasi Konferensi Dukun
Pandita 2024, yang menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, antara
lain:

– Pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Tengger secara legal.

– Pelibatan aktif masyarakat adat dalam konservasi kawasan Gunung Bromo.

– Fasilitasi pemerintah terhadap program pemajuan kebudayaan Tengger
secara berkelanjutan.

Tradisi, Ketahanan Pangan, dan Harapan Masa Depan

Selain nilai spiritual, tradisi Yadnya Kasada dan adat-adat lainnya
seperti Unan-Unan, Entas-Entas, dan Karo, juga diyakini sebagai bagian
dari filosofi ketahanan hidup masyarakat Tengger. Mereka hidup dari
alam, menghormatinya, dan berharap akan hasil panen yang melimpah
serta laku di pasaran.

Tradisi ini bukan sekadar pengingat masa lalu, tapi juga menjadi
penopang masa depan. Di tengah tantangan modernisasi dan pariwisata
yang semakin massif di Bromo, masyarakat Tengger terus berupaya
menjaga jati diri mereka—sebuah komitmen yang kini mendapat dukungan
lebih kuat dari pemerintah pusat dan daerah.

Menjaga Warisan Leluhur, Menyapa Dunia

Yadnya Kasada 2025 adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal tidak
sekadar bertahan, tetapi juga tumbuh dan memberi inspirasi. Ia
mengajarkan bahwa hidup yang selaras dengan alam dan leluhur adalah
fondasi bagi keberlanjutan.

Bagi siapa pun yang pernah menyaksikannya, Kasada bukan sekadar acara
budaya—ia adalah doa terbuka yang dibacakan di antara kabut, kawah,
dan keyakinan. Ia adalah cara suku Tengger berbicara kepada dunia:
bahwa warisan tak harus dikunci dalam masa lalu, melainkan bisa terus
tumbuh bersama masa depan.