Berlin – Otoritas Jerman mengadili perempuan keturunan Jerman-Suriah berusia 30 tahun karena diduga mengatur pernikahan (wedding organizer) untuk kelompok ISIS. Terdakwa, yang diidentifikasi sebagai Lorin I dijerat undang-undang privasi Jerman pada Jumat 24 Juli, seperti dikutip dari laman Al Jazeera, Rabu (29/7/2020).
Saat persidangan, ia mengaku ke pengadilan Celle, Jerman utara, bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Suriah dengan suaminya pada tahun 2014. Dia mengaku menyesali perjalanan itu dan berusaha menjauhkan diri dari kelompok bersenjata tersebut.
Pengacara terdakwa berpendapat, tidak ada bukti untuk mendukung tuduhan bahwa kliennya merekrut wanita dari Jerman untuk menikahi pejuang ISIS. Selain tuduhan itu, wanita tersebut juga didakwa keanggotan dari organisasi teroris dan melanggar tindakan kontrol senjata perang Jerman. Sebab, wanita Jerman itu diduga memiliki dua senapan serbu dan granat saat berada di Suriah.
Berlin – Otoritas Jerman mengadili perempuan keturunan Jerman-Suriah berusia 30 tahun karena diduga mengatur pernikahan (wedding organizer) untuk kelompok ISIS. Terdakwa, yang diidentifikasi sebagai Lorin I dijerat undang-undang privasi Jerman pada Jumat 24 Juli, seperti dikutip dari laman Al Jazeera, Rabu (29/7/2020).
Saat persidangan, ia mengaku ke pengadilan Celle, Jerman utara, bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Suriah dengan suaminya pada tahun 2014. Dia mengaku menyesali perjalanan itu dan berusaha menjauhkan diri dari kelompok bersenjata tersebut.
Pengacara terdakwa berpendapat, tidak ada bukti untuk mendukung tuduhan bahwa kliennya merekrut wanita dari Jerman untuk menikahi pejuang ISIS. Selain tuduhan itu, wanita tersebut juga didakwa keanggotan dari organisasi teroris dan melanggar tindakan kontrol senjata perang Jerman. Sebab, wanita Jerman itu diduga memiliki dua senapan serbu dan granat saat berada di Suriah.
Para jaksa menuduh tujuannya dalam perjalanan ke Suriah adalah untuk mendukung ISIS dan bahwa ia berasal dari jaringan perempuan yang berusaha membawa perempuan lain dari Jerman ke kekhalifahan yang diproklamirkan oleh kelompok itu.
Penuntut membacakan pesan WhatsApp pada hari pertama persidangan, yang diduga menunjukkan wanita itu mendorong orang lain untuk bergabung dengannya dan memuji kehidupan di bawah ISIS. Dia juga dikatakan memuji orang-orang yang mati untuk kelompok itu sebagai pahlawan. Wanita itu menghadapi tuntutan 10 tahun penjara.
Selain tuduhan-tuduhan itu, wanita tersebut juga terancam dicabut kewarganegaraannya. Pasalnya dalam aturan kewarnegaraan, warga Jerman dengan berkewarganegaraan ganda yang bergabung dengan milisi teroris asing seperti ISIS kelak akan kehilangan kewarganegaraan mereka. Undang-Undang itu diputuskan kabinet Jerman sejak 3 April 2019.
“Seseorang yang pergi ke luar negeri dan benar-benar berpartisipasi dalam operasi tempur untuk sebuah milisi teroris menunjukkan bahwa mereka telah berpaling dari Jerman dan nilai-nilai dasarnya, beralih ke kekuatan asing dalam bentuk milisi teroris,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Perubahan undang-undang kewarganegaraan tersebut hanya akan berlaku bagi orang dewasa yang memiliki kewarganegaraan ganda. Adapun anak di bawah umur, tidak akan terpengaruh.
Kementerian dalam negeri Jerman memperkirakan sekitar 1.000 orang meninggalkan Jerman untuk bergabung dengan kelompok teroris di Suriah dan Irak sejak 2013. Sekitar sepertiga telah kembali ke Jerman, beberapa di antaranya telah dituntut atau ditempatkan dalam program rehabilitasi.
Seorang juru bicara dari kementerian dalam negeri mengatakan kepada DW bahwa RUU itu tidak terbatas pada ISIS namun mencakup semua milisi teroris.
“Seorang milisi teroris dalam arti RUU ini adalah asosiasi bersenjata terorganisir paramiliter, bertujuan keras menghapuskan struktur negara asing yang bertentangan dengan hukum internasional, dan menggantinya dengan negara baru atau untuk membangun struktur seperti negara,” kata juru bicara itu.
Pengacara terdakwa berpendapat, tidak ada bukti untuk mendukung tuduhan bahwa kliennya merekrut wanita dari Jerman untuk menikahi pejuang ISIS. Selain tuduhan itu, wanita tersebut juga didakwa keanggotan dari organisasi teroris dan melanggar tindakan kontrol senjata perang Jerman. Sebab, wanita Jerman itu diduga memiliki dua senapan serbu dan granat saat berada di Suriah.
Para jaksa menuduh tujuannya dalam perjalanan ke Suriah adalah untuk mendukung ISIS dan bahwa ia berasal dari jaringan perempuan yang berusaha membawa perempuan lain dari Jerman ke kekhalifahan yang diproklamirkan oleh kelompok itu.
Penuntut membacakan pesan WhatsApp pada hari pertama persidangan, yang diduga menunjukkan wanita itu mendorong orang lain untuk bergabung dengannya dan memuji kehidupan di bawah ISIS. Dia juga dikatakan memuji orang-orang yang mati untuk kelompok itu sebagai pahlawan. Wanita itu menghadapi tuntutan 10 tahun penjara.
Selain tuduhan-tuduhan itu, wanita tersebut juga terancam dicabut kewarganegaraannya. Pasalnya dalam aturan kewarnegaraan, warga Jerman dengan berkewarganegaraan ganda yang bergabung dengan milisi teroris asing seperti ISIS kelak akan kehilangan kewarganegaraan mereka. Undang-Undang itu diputuskan kabinet Jerman sejak 3 April 2019.
“Seseorang yang pergi ke luar negeri dan benar-benar berpartisipasi dalam operasi tempur untuk sebuah milisi teroris menunjukkan bahwa mereka telah berpaling dari Jerman dan nilai-nilai dasarnya, beralih ke kekuatan asing dalam bentuk milisi teroris,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Perubahan undang-undang kewarganegaraan tersebut hanya akan berlaku bagi orang dewasa yang memiliki kewarganegaraan ganda. Adapun anak di bawah umur, tidak akan terpengaruh.
Kementerian dalam negeri Jerman memperkirakan sekitar 1.000 orang meninggalkan Jerman untuk bergabung dengan kelompok teroris di Suriah dan Irak sejak 2013. Sekitar sepertiga telah kembali ke Jerman, beberapa di antaranya telah dituntut atau ditempatkan dalam program rehabilitasi.
Seorang juru bicara dari kementerian dalam negeri mengatakan kepada DW bahwa RUU itu tidak terbatas pada ISIS namun mencakup semua milisi teroris.
“Seorang milisi teroris dalam arti RUU ini adalah asosiasi bersenjata terorganisir paramiliter, bertujuan keras menghapuskan struktur negara asing yang bertentangan dengan hukum internasional, dan menggantinya dengan negara baru atau untuk membangun struktur seperti negara,” kata juru bicara itu.