Dalam bentuknya yang paling ideal, berita dimaksudkan untuk memberi kabar atas suatu kejadian yang menarik sekaligus penting kepada masyarakat luas agar si penerima berita dapat selalu mawas. Karenanya pemberitaan selalu bersumber pada fakta, bukan praduga. Sehingga produk berita selalu relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Media, baik cetak maupun on line, merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam menyampaikan berita. Plus dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, pemberitaan makin dapat sangat cepat tersaji.
Namun sayangnya, ibarat bunga mawar yang meski harum mewangi namun tak pernah lepas dari duri, pemberitaan yang marak beredar saat ini justru melenceng jauh dari semangat utamanya, yakni memberitakan. Terutama sekali terhadap pemberitaan yang beredar di media online, berbagai macam berita yang belum jelas sumber dan maksudnya keluar masuk dengan begitu bebas.
Fakta tidak lagi menjadi dasar utama dalam upaya pemberitaan, karena tujuan dari berita yang disebarkan tidak lagi untuk mengabarkan, tetapi lebih kepada menggiring pikiran dan perasaan masyarakat untuk bersepakat dengan isu apapun yang sedang diangkat.
Sisi jurnalisme — 5W1H (what, why, when, where, who dan how)– terlalu sering diterabas begitu saja tanpa pernah peduli bahwa hal tersebut merupakan syarat mutlak untuk metode penyampaian berita.
Perkembangan model pemberitaan yang berserakan di dunia maya akhir-akhir ini juga semakin menunjukkan bahwa berita kerap dikeluarkan hanya berdasar pada ‘pesanan’, baik pesanan dari orang atau kelompok tertentu maupun pesanan dari alam bawah sadar si penebar berita yang tidak rela melihat bangsa ini hidup rukun dan saling mengasihi sesama.
Berdasarkan pantauan dari tim Pusat Media Damai, tema-tema seputar agama dan politik masih menjadi tema paling favorit yang digunakan untuk menebar intrik. Ajaran-ajaran agama kerap diplesetkan demi menebar pesan-pesan kebencian dan permusuhan. Membenci, mengusir, membunuh dan berbagai hal lain yang tidak masuk akal diterjemahkan secara picik sebagai bagian dari ritual.
Masyarakat kemudian digiring untuk percaya begitu saja bahwa negara lengkap dengan pemerintahan yang sedang berkuasa merupakan gerombolan orang yang menjadi musuh utama agama, karenanya harus segera diperangi hingga habis tak tersisa.
Model pemberitaan yang bertentangan dengan semangat pencerahan dan kejujuran ini sempat begitu merajalela terutama melalui model share di media sosial. Kecenderungan untuk begitu saja membagikan tautan berita tanpa terlebih dahulu membaca isinya telah membuat pemberitaan tipe kelas teri ini dapat menyebar luas ke seantero negeri.
Masyarakat yang kurang teliti tentu akan mudah termakan oleh isi dari pemberitaan yang begitu mencederai nurani ini. Karenanya kita semua harus lebih berhati-hati dalam mensikapi berbagai macam pemberitaan yang berhamburan di sekitar kita. Curiga atau bahkan tidak percaya dengan isi suatu berita tentu sah-sah saja untuk dilakukan selama hal itu memiliki dasar kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kita harus bisa menempatkan berita sebagai ‘bahan mentah’ yang harus diolah terlebih dahulu dengan akal dan nurani sebelum akhirnya berita tersebut layak konsumsi. Ulasan ini tidak berarti mengajak masyarakat untuk berhenti menkonsumsi berita, karena hal itu sama saja dengan menolak udara. Mari menikmati berita dengan pikiran dan hati yang terbuka agar kita dapat selalu waspada.