Dalam pertemuan bilateral, multilateral dan regional saat waktu istirahat, coffee break, atau makan siang adalah saat yang ditunggu-tunggu. Setelah penat dan lelah berjam-jam melakukan dialog dan diskusi alot, biasanya delegasi berbincang ringan tentang berbagai persoalan. Mulai dari persoalan ekonomi, perkembangan budaya, isu keamanan, bahkan situasi politik negara masing-masing sangat sering dijadikan topik bahasan sambil menyeruput kopi. Biasanya para delegasi akan berkumpul menggerombol di satu meja dengan sesama negara. Atau ada pula yang memilih berkumpul dengan delegasi kawasan regional. Topik terkadang juga tidak fokus. Dari yang serius yang masih dibawa dari meja rapat sampai hal-hal kocak seperti pakaian, makan termasuk urusan wanita dan seks.
Pada medio Oktober tahun lalu dalam sesi cofee break sebuah konferensi yang dilaksanakan di Eropa Timur, Penulis terlibat pembicaraan lucu tentang tebak-tebakan yang bertema perempuan tercantik di dunia dari negara mana. Ternyata jawabannya sangat bervariasi. Artinya penilaian atas kecantikan itu sangatlah relatif. Ada yang berpendapat perempuan Eskimolah yang tercantik. Ada pula yang berpendapat orang Italia. Ada pula yang mengatakan orang Korea. Namun orang korea sendiri justru mengatakan- itu bohong, karena banyak orang tertipu hasil operasi plastik kecantikan. Ada juga teman yang mengatakan bahwa menurut dia orang Nigeria yang tercantik di dunia karena menrutunya orang hitam itu sangat enak untuk dilihat utamanya rambut keriting padat dan pendek. Apa lagi kalau melihat dia sedang tersenyum.
Pada dasarnya, masing-masing ternyata punya pandangan yang berbeda soal wanita cantik dan tercantik di dunia. Penulis lebih banyak tertawa dan mendengarkan serta diam kala itu. Karena ternyata pandangan laki-laki tentang wanita itu terbukti sangat relatif dan berbeda. Sulit penulis membayangkan bila wanita berkulit hitam legam yang cenderung mendekati abu-abu berambut kriting padat dikatakan paling cantik di dunia.
Lalu saat semua dalam satu meja itu selesai berdebat dan saling memberikan argumentasi, giliran penulis diminta untuk memberikan pendapat tersendiri tentang wanita tercantik itu. Penulis dengan tegas mengatakan bahwa bagi penulis wanita yang tercantik itu adalah wanita “Uighur”. Lalu teman dari Filipina bertanya, mengapa dan apa yang membuat penulis memberikan penilaian itu? Apakah anda pernah melihat dan bertemu langsung dengan wanita Uighur? Atau hanya memberikan penilaian hanya karena melihat foto-foto dari google ?
Penulis menjawab pernah bertemu di salah satu bandara dan berbicara cukup lama dengan wanita cantik dari Uighur saat transit yang di Dubai. Dan penulis sampaikan bahwa setelah pertemuan itu penulis mencoba sendiri mencari literatur wanita Uighur dengan googling di dunia maya. Ternyata benar. Wanita dari suku Uighur itu menurut penulis adalah yang tercantik di dunia. Mengapa? Menurut hemat penulis, ada yang membedakan wanita di berbagai negara dan wanita Uighur.
Sebagai orang China, fisik wanita Uighur sangat berbeda dengan kebanyakan suku dan etnis di China yang lain. Mereka memiliki postur sangat tegak dan memiliki tinggi yang lebih dibandingkan kebanyakan etnis Cina lainnya. Kulit mereka putih bersih semi kecoklat-coklatan. Rambut hitam gelap semi pirang. Mata bulat, tidak sipit, dengan bola mata hitam keabu-abuan. Bulu mata yang amat lentik. Bibir mereka rata-rata mungil dan ranum menggemaskan. Batang hidung mereka rata- rata mancung tegas. Wanita Uighur memiliki leher yang jenjang. Mereka adalah perpaduan Turki, Arab, Kaukasus dan Asia.
Dan setelah penulis berargumentasi seperti itu, hampir semua menganggukkan dan mengiyakan pendapat tersebut. Bahkan ada yang saat itu juga langsung searching dengan kyeword wanita Uighur di google. Namun karena etnis Uighur adalah etnis minoritas, maka soal kecantikannya lebih jarang dibahas katimbang masalah kemanusiaan dan radikalisme yang sedang bergolak di sana.
Nah, tinggalkan dulu pembicaraan seputar wanita Uighur, pada kesempatan ini Penulis ingin mengurai Uighur dalam lanskap masalah terorisme. Sebelumnya tentu saja perlu diketahui di mana posisi suku Uighur dalam sejarah China dan Islam termasuk dengan Indonesia.
Laksamana Cheng Ho, Islam Indonesia dan Uighur
Dalam pelajaran sejarah masuknya Islam ke Indonesia tentu kita tidak asing dengan nama Laksamana Cheng Ho. Beliau adalah salah satu sosok pemimpin yang melakukan syiar agama Islam di Indonesia. Sebagai salah satu tokoh besar yang pernah mensyiarkan agama Islam di tanah Jawa tentu orang Jawa khususnya Jawa Tengah sangat mengenal nama itu. Apalagi sudah pernah berkunjung ke Sam Po Khong akan melihat benda-benda sejarah sebagai bukti syiar Laksanama lakukan di Jawa.
Untuk melakukan Syiar, beliau menyeberangi ribuan mil laut pada antara tahun 1405 sampai tahun 1433 . Cheng Ho yang lahir bernama Ma He dan memiliki nama muslim Haji Mahmud Shams saat masih muda adalah penasehat kepercayaan kaisar ke-3 Zhu Di era dinasti Ming. Di Indonesia, jejak sejarah itu masih sangat bisa dilihat secara jelas pada museum Sam Po Kong Jawa tengah. Hal itu pula yang merupakan petunjuk bahwa penyebaran Islam yang dilakukan oleh Cheng Ho telah dilakukan jauh-jauh sebelum era Walisongo.
Laksamana Cheng Ho berasal dari suku Hui. Suku Hui merupakan kerabat dekat dengan suku Huihe (Uighur). Hui dan Huihe sama-sama beragama Islam. Mereka mendiami salah satu provinsi terbesar di Cina Xinjiang bersama suku-suku lain yang bukan Islam, seperti halnya suku Han , suku Mancu dan suku Mongol. Dalam berbagai catatan terungkap bahwa telah terjadi beberapakali konflik antara Huihe dengan etnis Han.
Kalau dilihat dari sejarah, bangunan dan artefak peninggalan Islam dan dilihat dari bangunan artistik sperti masjid Affag Khoja yang dibangun abad ke 18, masjid Idgah abad ke15 dan mesjid Azna dipastikan bahwa sudah lebih dari 8 abad silam, Islam telah berkembang pesat di Xinjiang. Salah satu etnis Huihe itulah yang saat ini kita kenal sebagai suku Uighur. Dalam berbagai catatan, dokumen dan literatur menyebutkan bahwa orang Uighur merupakan keturunan klan Turki yang berasal dari daerah Uighuristan dan Turkistan Timur yang telah hidup di Asia Tengah lebih dari 2000 tahun. Mereka juga memiliki kesasteraan Islam terkenal seperti karya Yusuf Hasnajib 1069 – 1070 yang berjudul Kutatku Balik dan karya Mahmud Kashari dan Abetul Kahayike serta Yuneki yang berjudul Divani Lagarit Turk. Dari artefak dan benda-benda sejarah terungkap bahwa sebelum berkembangnya agama Islam, suku Uighur memeluk keyakinan Shamanian, Manicheisme serta agama Budha. Hal ini terlihat di Reruntuhan kota Kucha dan di Candi Ming Oy serta bekas tempat tinggal orang Kanchou Uighur di Turfan dan Dunhuang.
Pertanyaan mendasarnya adalah kapan orang Uighur tersebut masuk Islam? Dari bentuk dan bangunan di sana dapat diperkirakan bahwa orang Uighur masuk Islam diperkirakan pada tahun 934 diawali dengan dibangunnya 300an mesjid di kota Kashgar pada era Satuk Bughra Khan. Sejak menjadi bagian dari China 1949, orang Uighur menganggap mereka telah didiskriminasi. Suku Han memusuhi mereka. Karenanya suku Uighur pernah melakukan penyerangan besar-besaran suku Han pada tahun 2007. Akibatnya 18 orang Uighur ditembak mati. Sejak saat itulah banyak kelompok radikal lahir di samping karena putus asa, merasa termarginalisasi, serta ada juga yang teradikalisasi melalui sosial media yang sudah sangat digandrungi generasi muda.
Uighur dan Terorisme di Indonesia
Sungguh sulit kita pahami betapa ada segelintir orang Uighur yang mau bergabung kepada kelompok radikalis dan teroris di Indoneaia. Dalam pernyataan aparat penegak hukum pasca penangkapan beberapa teroris terungkap bahwa mereka rela menempuh perjalanan jauh untuk bisa sampai ke Indonesia. Bisa dibayangkan ada yang melalui Kamboja, Thailand, dan Malaysia untuk sampai ke Indonesia. Setelah menyeberang ke Tanjung Pinang mereka menempuh jalan darat menuju Surabaya. Dari Surabaya mereka naik kapal laut hingga Makassar. Dari Makasar mereka menempuh jalan darat tran Sulawesi sebelah Barat untuk sampai ke Palu. Dari Palu mereka menuju poso. Dan ditangakap di tengah jalan yaitu di Parigi Montong
Menurut recana, mereka berangkat dari Palu menuju Poso pada tanggal 13 september 2014. Namun apes mereka tertangkap di tengah perjalanan dalam sebuah operasi terbatas di perbatasan Parigi Montong. Mereka (Ahmet, Abdul Basit Tuzer, Bayram Altinci dan Ahmaf Bozoglan) adalah para anak muda Uighur yang ingin bergabung dengan Amir Mujahidin Indonesia Timur, Santoso. Ada memang saat penangkapan mereka belum ketahuan ke mana mereka akan bergabung. Sebut saja mereka adalah Batusan Malagasi al Farouk dan Nuretin Gundogdu. Ada juga yang meninggal dunia seperti Turan Ismail, Sodik Tarulmaz alias Abdul Azis serta Ibrahim. Ada yang belum tertangkap seperti Muztafa. Bahkan pada maret 2016 dideportasi.
Ada beberapa alasan mereka tertarik bergabung dengan kelompok radikalis di Indonesia. Pertama; saat itu nama Santoso begitu viral di media mainstream sebagai sosok pejuang yang hebat tak terkalahkan. Hal itulah yang merangsang kelompok yang sakit hati terhadap pemerintahan China untuk melakukan perlawanan. Di sinilah proses prosek glorifikasi media terjadi yang luar biasa.
Kedua ; terkadang media Indonesia melakukan fabrikasi situasi yang satu sisi membuat masyarakat takut dan di sisi lain teroris makin berani. Tentu kita masih ingat saat bom Tamrin terjadi salah satu media memberitakan adanya orang berboncengan mengarah ke Slipi dan Kuningan dengan membawa bom. Media hari itu juga mengatakan ada serangan masif teroris di tiga tempat berbeda. Radikalis di negara lain melihat situasi ini sebagai sebuah peluang.
Ketiga ; saat itu diberitakan ada ribuan personil TNI dan Polri melakukan operasi melawan kelompok Santoso dan sulit sekali menangkapnya. Artinya kalau mereka bergabung tentu akan lebih aman ketimbang bergabung langsung pada ISIS. MIT menjadi salah satu tujuan kelompok radikalis sebagai tempat aman karena mempunyai teritori di hutan.
Keempat ; Poso sebagaimana Filipina Selatan pada era al-Jamaah al-Islamiyah dulu adalah merupakan basis perlawanan dan latihan. Betapa mereka melihat camp pelatihan Poso seperti camp hudabiyah dan camp Abu Bakar yang telah melahirkan pelaku-pelaku amaliyah yang handal di masa awal reformasi.
Kelima; mereka melihat bahwa perlawanan teroris di Eropa dilakukan oleh mereka secara terbuka. Misalnya bagaimana seorang teroris menyerang secara membabi buta dan menembak orang di keramaian di bar dan cafe. Sementara konsep pejuang radikalis di Indonesia menerapkan sistem sel dalam pergerakan senyap (tanzim ziry).
Keenam; karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim mereka ( kelompok Uighur ) sangat meyakini bahwa mereka pasti akan bergerak lebih bebas. Kesamaan identitas keagamaan yang membuat mereka lebih nyaman untuk memilih Indonesia dan bergabung dengan jaringan terorisme di Indonesia.
Melihat pelajaran penting dari arus Uighur tersebut walaupun masih dalam jumlah yang kecil, Penulis meyakini pentingnya kerjasama internasional yang kuat dalam melakukan penangkalan terorisme berbasis trans negara. Karakter terorisme tidak lagi dibatasi negara, tetapi karena adanya kesamaan ideologis dan nasib yang menyebabkan mereka mudah singgah ke negara lain dan diterima di wilayah tersebut.
Dalam rangka counter propaganda terorisme pasca ISIS di Iraq, Syria dan Marawi, aktifitas soft aproach seperti ; kontra proganda, kontra agitasi dan kontra narasi harus secara masif dan simultan dilakukan oleh semua negara. Pelibatan segenap komponen bangsa, masyarakat dan kerjasama antar negara kawasan perlu ditingkatkan. Termasuk di antaranya memberikan akses yang seluas- luasnya untuk saling mengunjungi tahanan dalam lembaga pemasyarakatan. Pembangunan kapasitas bersama dengan memanfaatkan JCLEC bagi negara negara kawasan juga menjadi bagian dari strategi yang terpenting.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan penegasan bahwa tidak ada satu negarapun yang imun dan bebas sepenuhnya dari ancaman terorisme. Tidak ada satu negarapun yang mampu menyelesaikan masalah global secara mandiri. Akhirnya kata kerjasama dan kolaborasi menjadi jimat ampuh dalam upaya menanggulangi terorisme.
Semoga bermanfaat