Judul seperti di atas tentu akan membuat orang semakin skeptis terhadap kemampuan negara dalam menekan radikalisme dan terorisme di tanah air. Penangkapan teroris yang tidak terputus dan masif dilakukan oleh densus 88 dan Polri bukannya membuat masyarakat menjadi nyaman, namun sebaliknya, hal ini justru menambah ketakutan pada sebagian masyarakat.
Ditambah dengan pemberitaan di televisi dan media lain secara berulang-ulang, yang sejatinya ingin memperlihatkan kepada masyarakat betapa seriusnya otoritas negara menangani teroris, justru dibaca sebagian kalangan sebagai kegagalan pencegahan. Negara dianggap lengah. Negara dianggap ” kecolongan”. Tentu, anggapan yang tidak berdasar ini muncul dengan pengabaian terhadap sejumlah fakta, seperti; angka kwantitatif penanggulangan terorisme di negeri ini yang menunjukkan penurunan kasus teror secara signifikan sejak tahun 2000 sampai tahun 2016.
Nalar kwalitatif juga menunjukkan bahwa kualitas bom yang digunakan kelompok teroris semakin menurun. Tengok saja jenis bom yang digunakan untuk kasus bom Bali misalnya, kelompok teroris menggunakan bom amunium nitrat seberat 1,2 ton dengan pemicu timer dan hp dengan shaterring effect yang mampu menghancurkan dan meluluh lantakan gedung besar, berbeda jauh dengan Bom Panci Cicendo yang tidak melukai dan merusak apapun. Tentu ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa bom yang ada saat ini tidak berbahaya, tetapi fakta bahwa negara telah berhasil menekan kelompok teroris kian terasa laksana gajah yang tak tampak meski ada di pelupuk mata.
Fenomena ini menegaskan teori sosial kontrak, di mana pandangan tentang terorisme terkotak dalam segitiga yang berisi pemerintah di bagian atas, serta masyarakat dan teroris di dua sudut bawah. Di bagian tengah terdapat media yang memainkan peran penting terhadap produksi dan distribusi berita. Termasuk di antara peran itu adalah glorifikasi, fabrikasi, dan ripitisasi atau pengulang-ulangan berita. Jika media mampu untuk terus bersikap seimbang dan berorientasi pada kebaikan bersama, tentu keresahan masyarakat terkait terorisme dapat dikurangi, sebab pemerintah nyatanya memang tidak pernah berhenti membasmi virus mengerikan ini.
Dari Mana Radikalisme dan Terorisme Datang?
Meski sama-sama ‘bermerek’ radikalisme, paham radikal nyatanya tidak sama di tiap komunitas, bangsa dan negara tertentu. Penyebab Radikalisme sebetulnya sangat tergantung pada faktor pribadi, seperti penolakan dan streotip buruk yang tidak hilang melekat pada individu, krisis identitas, penolakan atas tampilan, dsb. Selain itu, radikalisme juga bisa disebabkan oleh lingkungan dan komunitas, atau disebabkan memang oleh jaringan dari luar yang sektarian.
Hal penting untuk dicatat adalah, setiap orang atau individu sebetulnya punya potensi untuk menjadi radikal. Ada banyak golongan masyarakat yang menjadi radikal dan anarkis mana kala sendi-sendi sosio budaya dan secara antropolog terganggu. Perbedaan budaya dan kebiasaan memainkan peranan penting dalam tumbuh kembang radikalisme di tengah-tengah masyarakat. Ada bangsa yang tidak akan marah jika bagian kepalanya dipegang, seperti masyarakat di kebanyakan wilayah di Eropa. Sementara masyarakat di wilayah lain bisa memberikan respon yang berbeda untuk perlakukan ini. Perbedaan respon inilah yang kerap menjadi pemicu munculnya radikalisme.
Di Indonesia, hampir bisa dipastikan bahwa penyebab terbesar radikalisme dan terorisme berlatar sentimen agama. Tidak bisa dinafikkan lagi bahwa pemeluk agama Islam terbesar di dunia adalah masyarakat Indonesia. Tahun 2010 saja, dari total penduduk 256 juta jiwa penduduk Indonesia, 88,58% beragama Islam, sisanya beragama lain.
Sebelum ada undang-undang no 15 tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme, baik dalam Perpu no 1 tahun 2002 maupun dalam PNPS no 11 tahun 1963 tentang tindak pidana subversif, terorisme telah dikelompokan ke dalam 3 varian, yakni; kelompok Idiologis, kelompok separatis dan kelompok kriminal. Dari ketiga kelompok itu rangkaian panjang terorisme didominasi oleh kelompok-kelompok yang ingin mengubah ideologi pancasila menjadi ideologi yang ‘katanya’ berdasarkan syariat Islam.
Mereka ingin mengganti sendi-sendi negara, dan cara yang digunakan untuk memperoleh dan mencapai cita-cita itu adalah dengan menciptakan situasi perang konstant atau perang qital. Sementara dalam konsep perang, membunuh adalah hal yang dibolehkan, bahkan merampas harta musuh pun diperbolehkan dan disebutnya sebagai Fa’i. Jikapun ternyata gagal dan berakhir dengan kematian, maka hal itu disebutnya sebagai jihad, dan yang mati digelari syahid.
Apa betul begitu?
Secara nalar, ada penyimpangan makna yang terjadi. Sebagai seorang Muslim sejati yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang muslimin, penulis sangat paham bahwa ada yang salah. Menurut penulis, jihad adalah sikap spritual yang bersifat individual. Sangat individu. Jihad dalam pengertian penulis itu memiliki berbagai tingkatan, mulai dari memerangi hawa nafsu atau jihadunnafsi, yang disebut rasul sebagai jihad al akbar (jihad yang besar), jihad dengan terlibat perang melawan musuh atas kezoliman yang disebut rasul sebagai jihad as ashgor, hingga jihad al afdol yaitu jihad utama kita sebagai manusia untuk berani menggunakan pikiran untuk membangun sebuah kebenaran.
Intinya, jihad adalah sikap spiritual untuk lebih mengedepankan perang terhadap hawa nafsu, perang terhadap pengorbanan dalam realitas perang murni dan keberanian untuk menyatakan dan mempertahankan kebenaran. Bagaimana caranya? Yakni dengan memperkuat aqidah. Bukan persoalan mudah membangun aqidah itu, ada tantangan, ada keterpengaruhan lingkungan, ada pula atribut kebutuhan. Dalam membangun aqidah dan keyakinan, kita tentu tidak bisa hanya mempedomani satu petunjuk. Kita perlu mempelajari yang lain. Kalau kita belajar alquran, maka kita juga harus paham hadis dengan fiqih, sejarah dan riwayat.
Kalau diterjemahkan secara kaku, dengan hadis yang diterjemahkan sepotong-potong tanpa tahu riwayat dan diberikan oleh orang yang berpandangan berbeda, maka dipastikan akan diperoleh nalar dan logika menyimpang. Khusus untuk kasus terorisme, biasanya nalar dan logika oleh ustads (yang orangnya itu-itu saja) akan menjadikan orang-orang (murid) menjadi obyek seleksi dalam tahapan pra radikalisasi. Sementara sang guru akan menjadi panutan dalam pengindentifikasian diri, dia akan menanamkan dokrin-dokrin atau idoktrinasi dan murid akan mulai melakukan proses aksi yang mereka sebut jihadisasi.
Pada proses indoktrinasi dan jihadisasi, gejala radikal pada seseorang ataupun kelompok akan terlihat, biasanya ditandai dengan ciri pokok yang oleh CRCS (center for religious and cross cultural studies) ditandai dengan; sikap penolakan terhadap dialog dan kompromi, cenderung melakukan strategi konfrontatif, penarikan diri dari arus utama moderat dll, skeptis terhadap sistem, serta adanya sikap toleran terhadap aksi kekerasan dan intimidatif.
Radikalisasi bisa datang kepada siapa saja, komunitas apa saja dan di mana saja. Hal ini tidak bisa kita hindari. Kemajuan teknologi komunikasi telah mengubah model pembelajaran dan rekruitmen kelompok radikal.
Seturut dengan perkembangan teknologi informasi, tumbuh kembang paham radikal bermetamorfosis dalam tiga varian sebagai berikut, yakni:
- Radikalisme Individu bisa tumbuh akibat proses pembelajran diri sendiri. Hari ini orang dewasa yang memiliki pengetahuan terbatas tentang agama dapat belajar sendiri secara on line. Alquran bisa didownload melalui playstore yang ada di telepon genggam. Tafsir, terjemah, hadist dapat pula dipelajari sendiri. Tentu hal ini memiliki sisi positif, yakni pengetahuan dapat bertambah. Ketakwaan seseorang dapat meningkat. Selama ini, orang yang hanya berkesempatan seminggu sekali membaca alquran, kini setiap saat bisa melaksanakannya. Bisa di mobil di tengah kemacetan, bisa di kantor, bisa di ruang tamu, di rumah, atau di manapun tanpa harus menyiapkan waktu khusus.
Meski begitu, hal ini juga menyisakan sisi buruk, utamanya ketika seseorang belajar agama secara online dari sumber yang salah. Bisa jadi website yang ditemukan adalah website radikal. Karenanya, jangan hanya melihat konten yang menarik tanpa tahu sumber aslinya, tanpa ada pembandingnya, sebab bisa jadi hal ini justru akan menyeret ke pusaran kelompok radikal. Begitupun anak anak. Anak anak yang menyukai permainan game online, bisa jadi akan tertarik dengan game-game kekerasan yang sengaja dibuat oleh kelompok radikal dalam rangka membangkitkan heroisme dan pemahaman jihad.
- Radikalisme kelompok, hal ini bisa terjadi melalui berbagai proses mulai dari kinship dan bloodship atau teroris turunan dengan motif dendam akibat streotif yang melekat pada orang tua dan dendam karena perlakuan yang dianggap tidak adil terhadap orang tua yang dihukum dan dieksekusi akibat perbuatan hukum orang tuanya. Bisa juga ada ketertarikan akan tokoh tertentu dari kelompok idiolog terorist atau worship. Atau ajakan dan solidaritas pertemanan serta pengalaman teman atau friendship. Serta decipleship atau patron guru dan bawahan dalam tiap tahapan proses radikalisasi. Pola ini terjadi mulai dari seleksi, identifikasi diri dan indoktrinasi, di mana guru dianggap segalanya. Atau ajakan melalui sosial media dalam group chatting dan messanger
- radikalisme bisa juga muncul akibat anggapan tentang kondisi penuh dengan ketertindasan, marginalisasi yang dilakukan oleh kelompok mayoritas yang ditunggangi oleh kelompok radikalis. Seperti halnya yang terjadi pada konflik ambon dan poso yang didomplengi JI. serta rohinngnya yang di domplengi oleh alqaedah bangladesh.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa radikalisme bisa menimpa siapa saja. Ajaran penuh kebencian ini bisa masuk melalui celah dan selah ketatnya pengawasan terhadap keluarga. Ia bisa masuk melalui forum-forum pengajian yang diisi oleh penceramah tidak kompeten. Ia bisa masuk melaui pertemanan. Ia bisa masuk melaui perkawinan. Kita ingat ada mantan TKW yang bersedia menjadi ‘pengantin’ (melakukan bunuh diri) setelah perkawinan riilnya. Kita juga ingat ada anak kecil yang bisa nekat menyerang pendeta. Radikalisme bahkan bisa masuk melalui tombol-tombol tuts pada gadget anak kita.
karenanya, teruslah waspada. Radikalisme bisa menyasar siapa saja, anak balita, orang dewasa, sampai ke asisten rumah tangga, semuanya dapat terpapar virus radikalisme. Waspadalah!