Uighur, Isu HAM dan Akses Informasi

Keamanan Nasional Cina: Antara Terorisme dan Separatisme

Sama halnya dengan dengan negara yang rentan terhadap atau pernah menjadi target ancaman terorisme dan kejahatan massal lainnya, bagi China keamanan adalah salah satu prioritas penting. Negara yang berpenduduk terbesar di dunia tersebut, yang dulu disebut negara tirai bamboo, telah merubah posisinya menyesuaikan dengan pertumbuhan geopolitik global.

Bagi China penegakan hukum yang sedemikian kerasnya harus ditegakkan. Kasus-kasus korupsi, kejahatan keamanan negara, terorisme, narkotika dan obat-obatan terlarang mendapatkan hukuman maksimal, bahkan banyak yang dieksikusi mati. Ada beberapa kasus yang dianggap sangat serius-menonjol-yang melibatkan etnis Uyghur, diantaranya : protes massal tahun 1990-an, protes jalanan Olimpiade Beijing pada 2008, pada tahun 2009 terjadi kerusuhan etnis skala besar di Urumqi ibu kota Xinjiang yang sebagian besar penduduknya yang menjadi korban adalah suku Han, demi keamanan banyak orang dari suku Uighur ditangkap, pada Juni 2012 enam orang Uighur diduga mencoba membajak sebuah pesawat dari Hotan ke Urumqi namun mereka bisa dibekuk oleh sejumlah penumpang dan awak, pertumpahan darah pada April 2013, kekerasan Juni 2013 Shanshan27 orang meninggal, peristiwa  Mei 2014  ketika dua mobil menabrak pasar Urumqi disertai pelemparan bahan peledak ke kerumunan mengakibatkan 31 tewas dan 90 orang menderita luka-luka ketika, pada bulan April 2014 serangan bom dan pisau di stasiun kereta api selatan Urumqi yang menewaskan tiga orang dan melukai 79 orang, peristiwa pada bulan Juli 2014 di mana sekelompok orang bersenjatakan pisau menyerang kantor polisi dan kantor pemerintah di Yarkant yang mengakibatkan 96 orang tewas.

Ada juga penyerangan Imam masjid terbesar di Cina, Jume Tahir, yang ditikam hingga tewas.  Peledakan ledakan di luntai di luar kantor polisi, pasar dan toko yang mengakibatkan 50 orang tewas.  Peristiwa yang juga mengejutkan tatkala serangan pada sebuah pernikahan di Kunming di provinsi Yunnan yang menewaskan 29 orang. Pemerintah tegas menyebut separatis Xinjiang adalah pelakunya. Serta pada bulan Oktober 2013 sebuah mobil menabrak kerumunan dan terbakar di alun-alun Tiananmen Beijing.

Dari berbagai kasus tersebut, siapa yang dianggap paling bertanggungjawab sebagai biang keladinya?  Dalam berbagai kesempatan dan forum terbatas Cina sering menunjuk ETIM atau East Turkestan Islamic Movement sebagai sebuah Gerakan Islam Turkmenistan Timur – atau paling tidak pelaku adalah orang-orang yang terinspirasi oleh ETIM. Merekalah yang dianggap paling bertanggung jawab sebagai pelaku kekerasan baik di Xinjiang maupun di sekitarnya.

Apa kepentingan ETIM ? Disitu  disebutkan ETIM ingin membangun sebuah negara Turkmenistan Timur yang berdaulat di Cina. Hal ini diperkuat pula oleh Departemen Luar Negeri AS dalam laporan tahun 2006 bahwa  ETIM adalah ‘kelompok separatis etnik Uighur yang paling miltan.

Sulitnya Mencari  Model Deradikalisasi dan Kontra Radikalisasi

Bagi negara yang memiliki prinsip-prinsip menjalankan hidup bernegara atau memiliki dasar negara sebagai ideologi atau “ground norm state” seperti  Amerika dengan The Constitution is built upon the f six basic principles, Indonesia juga berdasarkan  5 Perinsip dasar “ Pancasila”. Dalam prinsip ini masyarakat memiliki kebebasan beragama dan bebas mempromosikan agama sebagai alat bagi pengejawantahan butir sila KeTuhanan pada sila pertamanya.

Dikarenakan  di Indonesia  mayoritas jaringan terorisme menggunakan simbol agama Islam secara salah kaprah dan bertentangan dengan Pancasila, maka senjata pamungkas pada program deradikalisasi dan kontraradikalisasi nya adalah 1) mempromosikan Islam moderat atau Islam yang toleran (samhah) melalui tokoh agama moderat yang bisa diterima oleh target program, 2) mempromosikan Islam moderat melalui mantan narapidana teroris dan 3) sosialisasi moderasi Islam oleh aparat yang memang telah memiliki jalinan emosional yang lama dengan target atau para target.   Itulah cara yang paling efektif dalam melaksanakan program kontra dan deradikalisasi di Indonesia.

Sangat dimengerti bahwa bagian ini adalah hal yang paling sulit dan pasti tidak bisa  dilakukan oleh otoritas Cina sebagai negara yang basis awal dasar negaranya eks komunis.  Negara tidak mendukung atau tidak bias mendominasi agama tertentu.  Sehingga konsep deradikalisasi dan kontra radikalisasi di Cina tidak bisa menggunakan pakem dan pendekatan “mempromosikan Islam moderat “.

Kesulitan program deradikalisasi dan kontra radikalisasi lainnya bagi china bahwa Xinjiang memiliki kedekataan geografi dan demografi yang ikut beperan penting melahirkan kendala bagi program tersebut. Secara geografis berbatasan langsung dengan negara Pakistan dan secara demografi memang sejak dulu telah terjadi asimilasi perkawinan antara masyarakat kedua negara yang kebetulan diperbolehkan dalam syariat Islam yang menjadi agama mayoritas di kedua daerah tersebut.  Akibatnya ekstremisme di Xinjiang sangat mudah menyebar dan terpolarisasi dan meluas.

Sementara Pemerintah Pusat dan provinsi-provinsi lain mereka mempunyai struktur agama yang berbeda (bukan Islam).  China sebagai sebuah negara yang berbasis ideologi komunis tidak akan mungkin meletakan Islam sebagai dasar program deradikalisasi dan kontra radikalisasi. Sementara di Xinjiang radikalisme saat ini didominasi oleh radikalisme keagamaan yang pro-kekerasan.

Isu HAM dan Cita-cita Warna-warni serta Aqidah     

Sebagian masyarakat dunia kini telah berada pada post communication revolution era, artinya telah terjadi kemajuan yang luar biasa dalam dunia berkomunikasi. Dunia dan situasi di seluruh dunia dapat diketahui dalam kutub berbeda hanya dalam hitungan menit bahkan detik. Seorang pengusaha menengah yang anaknya sedang kuliah di Jerman bisa melihat kondisi apartemen anaknya dan komunikasi live dengan anaknya kapan saja dia mau – kecuali anaknya sedang tidur. Pembantu rumah tangga sekarang belanja nasi padang cukup dengan tuts telpon genggam dia bisa belanja online, hanya pakai hp butut dia bisa belanja peralatan dapur bagi sang majikan.

Situasi yang telah terbalik yang ternyata mampu mengalahkan gerai konvensional retail besar seperti 7 eleven yang harus tutup itu. Sulit dibayangkan-bila itu benar-betapa otoritas Cina telah melarang suku Uyghur untuk membuka website asing agar tidak terpapar radikalisme. Begitupula larangan menerima telepon dari kerabat atau teman di luar negeri yang sudah dilakukan oleh semua umat manusia di seluruh dunia di abad modern ini.

Begitupun persoalan agama, bagi muslim salat secara rutin adalah kewajiban tidak di Arab, Turki, Inggris, Indonesia, Yaman dll – sehingga sulit dimengerti apabila masyarakat menerima informasi yang telah global ini yang mengatakan bahwa otoritas Cina telah melarang Uighur melaksanakan sholat rutin dan Puasa Ramadhan. Apalagi kalau sampai urusan menumbuhkankan janggutpun dilarang.

Berita-berita itu telah viral sehingga sulit membedakan mana informasi yang hoaks dan mana informasi yang akurat. Tapi, setidaknya dunia saat ini terheran-heran dan terperangah serta bertanya-tanya apa mungkin pelanggaran itu terjadi. Kecaman terhadap Cina sudah viral dan global. Sama hebohnya seperti berita viral 2014 saat seorang Akademisi Uighur terkenal, Ilham Tohti, ditahan dan kemudian didakwa pada September 2014 atas tuduhan separatisme, yang saat itu mampu memicu kecaman internasional terhadap Cina.

Kini pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga satu juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat, dan di sana mereka menjalani apa yang disebut program ‘reedukasi, atau ‘pendidikan ulang’. Karena pendekatan lunak seperti halnya di Indonesia, Yaman, Arab Saudi, Singapura, Maroko dan Negara-negara lain tidak cocok dipakai di Cina, maka Cina harus mengadopsi kreasi model pendekatan yang bisa dipakai oleh negara tersebut.

Cara salah satunya yang dilakukan oleh Cina adalah dengan mengedepankan operasi keamanan dan selanjutnya dilakukan pembinaan yang berkelanjutan untuk menciptakan kondisi  masyarakat Uyghur untuk mendukung pemerintah, tercipta rasa aman serta untuk membangun ekonomi  tanpa harus  mempromosikan  “Islam yang moderat ”  secara spesifik. Cara yang paling efektif menurut Cina adalah 1) Re-edukasi orientasi kebangsaan 2) menempatkan mereka dalam kamp-kamp pendidikan ulang yang tersebar 3) melaksanakan pelatihan kejuruan gratis.

Demi suksesnya program deradikalisasi semua bidang latiham dan kehidupan internal kamp diawasi dengan ketat. Mereka diawasi dengan CCTV.  Doktrin dasar bagi otoritas China dalam pelaksaan Re-edukasi dan latihan kejuruan gratis ini bahwa “hidup haruslah beragam dan majemuk ”. Pemerintah Cina menyebutnya sebagai ” warna warni”. Untuk pemahaman itu, mereka (etnis Uighur) harus belajar sejarah dan tata rambut, kursus membuat pakaian, alas kaki sandal, merakit produk elektronik, tata huruf serta kewajiban menyanyikan lagu- lagu Patriotik.

Tempat-tempat pendidikan dan latihan bagi 11 juta penduduk uighur Xinjiang itu yang berupa kamp-kamp dan menurut Ketua daerah Pemerintah Xinjiang, Shorat Zakir, bahwa kamp itu fungsinya adalah untuk menyingkirkan lingkungan dan tanah Xinjiang yang telah melahirkan terorisme dan ekstremisme agama. Harapannya, kegiatan terorisme tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang. Pusat pelatihan pada kamp Re-edukasi dilengkapi dengan ruang baca, ruang pemutaran film-film, auditorium dan panggung theaterikal terbuka.

Pemerintah daerah menganggap peserta latihan banyak yang dipengaruhi mindset ekstremis dan tidak pernah berpartisipasi dalam kegiatan seni dan olah raga.  Namun dengan masuk ke kamp Re-edukasi sekarang sebagian mulai menyadari bahwa “hidup ini berwarna warni “. Namun, di sisi lain, selain klaim sukses atas program keamanan dikaitkan dengan deradikalisasi dan kontraradikalisai versi Cina itu, masih terdengar dan diberitakan di berbagai media internasional yang menyatakan bahwa penyiksaan fisik dan psikologis dikamp re-edukasi tentang mereka dibelenggu, dipukuli, serta dipaksa menyanyikan lagu lagu Patriotik tentang Presiden Tiongkok Xi Jinping masih sangat lantang dan viral diberitakan oleh media Global.

Hal yang lebih mengganggu psikologi dan emosi muslim dan masyarakat pengamat HAM bahwa mereka disuruh pindah agama, dilarang sholat dan sholat berjamaah, dilarang mengaji apalagi dengan suara keras, dilarang memasang tulisan Halal pada restoran yang nyata-nyata tidak halal dan meyakinkan bahwa komunis akan memperhatikan mereka dan merawat mereka bila mereka mau melakukannya.  Untuk mempertegas program pemerintah itu, Undang-undang baru telah dibuat untuk mendorong legalitas  “Pusat Pendidikan ulang” di Xinjiang itu di mana isinya juga mengatur ” sistem pemantauan” pada perangkat dan orang per orang yang selama ini tidak diatur dalam undang-undang apapun di China.

Bahkan banyak media yang mengatakan bahwa muslim xinjiang dikenakan pembatasan pembatasan yang mengekang Identitas keagamaan mereka. Seperti halnya menggunakan burqa dan kerudung, lelaki dilarang berjenggot, larangan berpuasa selama bulan Ramadhan. Yang tidak bisa dipahami pemerintah China bahwa larangan pelaksanaan Aqidah bagi Islam – justru akan memperkuat kualitas  ibadah. Karena setiap tantangan menuju ke kufuran, apalagi pada bulan ramadhan memiliki tantangan yang justru akan mempertebal kualitas ibadah sendiri. Seorang muslim sejati tidak akan takut akan kematian saat beribadah terutama pada bulan ramadhan.

Bersambung…