Apakah perang menghilangkan homegrown radicalism?
Ini adalah pertanyaan yang paling sulit untuk dijawab. Pepatah tagalog ” Nanalo aku sa digmaan, ang mga tao ay dapat maging masay“. Artinya, aku perang, aku menang, rakyat pasti merasa senang, masih perlu pembuktian panjang. Sama seperti Indonesia, ideologi NII (Negara Islam Indonesia ) sampai hari ini senantiasa masih ada pada sebagian kecil hati dan kepala masyarakat Indonesia. Walaupun ideologi Negara,Pancasila, itu sudah akomodatif terhadap kebutuhan kebebasan teologis, tentu masih saja ada yang mempunyai nilai dan cita-cita dan ideologi lain. Dia seperti orang habis makan durian baunya terasa sungguhpun wujud duriannya tidak kelihatan.
Ini terjadi di Filipina, negara tetanggga kita, yang telah menghabiskan energi polisi, militer, dan keuangan negara dengan kehancuran massif kota Marawi. Pertanyaannya , apakah perang, kehancuran kota, pengungsian penduduk dari kota bekas perang akan menurunkan atau menghilangkan radikalisme domestik di tempat itu? Perlu waktu untuk membuktikannya. Namun sebagai negara tetangga yang sama-sama menderita karena ulah para radikal teroris kiranya rakyat Indonesia layak untuk memohon dan berdoa bagi keamanan Filipina dan regional termasuk keamanan negara kita sendiri di Indonesia.
Situasi dan Kejadian di Filipina Penghujung tahun 2018
- Penghukuman Tokoh teroris
Tentu masyarakat global akan ingat sebuah berita yang sangat viral pada tahun 2000an, yaitu kasus penculikan dan penyekapan tepatnya di Tumahubong, Sumisip, kota Basilan. Sebanyak 52 guru dan anak anak diculik dan dikurung di sebuah rumah Mahadji di Gunung pada 20 Maret tahun 2000. Kini pelakunya telah dihukum seumur hidup oleh hakim pengadilan Regional Pasig City – RTC 261. Tidak tanggung-tanggung Hakim Florian Gregory Abalajon menghukum seumur hidup pelaku bernama Hector Janjalani dengan 18 tuduhan pasal pidana serius – terorisme. Sementara anggota Abu sayyaf lainnya seperti Daud Baru yang biasa dipanggil Dad Daim juga dikenakan 52 pasal tuduhan dalam pidana yang sama. Tidak cukup di situ saja mereka dikenakan juga pidana tambahan berupa kewajiban atau pasal konvensasi atas kerusakan mental sebesar 30.000 Peso.
Untuk beberapa tersangka, dari kacamata dan perspektif hukum memang ada beberapa kelemahan mendasar penyidik yang tidak bisa membuktikan keterlibatan yang bersangkutan. Contoh mendasar adalah kasus yang melibatkan tokoh. Akibatnya seorang tersangka dibebaskan atas tuduhan yang jaksa. Dia adalah Abdulazan Diamla biasa dipanggil Abdul Hasan Yakob Djamla. Hector dan Djamlah serta Daud Baru salah 3 diantara yang 66 orang yang ditangkap dan mereka ditahan dan dipenjara Blibid baru Muntinlupa. Pemimpin terorist Abu Sayyaf pada masa itu adalah Khadafi Janjalani, Adam Tilao alias Abu Ahmad Sabaya Isnilon Tatoni Hapilon dan Hector Janjalani.
- Pemolisian masyarakat dan militer yang kuat saja tidak cukup.
Sungguhpum tokoh Abu Sayyaf yang selama ini mengaku berafilliasi dengan ISIS sudah banyak yang ditangkap, dihukum, sedang menjalani hukuman, tetapi militer dan kepolisian mengaku bahwa menetralisir gerakan ini tetap merupakan bagian yang paling sulit. Bisa dibayangkan kepolisian yang memiliki perangkat sistem penegakan hukum yang kuat saja – bahkan sekalipun sudah dibackup oleh puluhan batalyon tentara tetap saja mengalami kesulitan dalam memerangi terorisme sekelas Abu Sayyaf ini.
Bentuk-bentuk pemolisian masyarakat, sekalipun dalam konteks kriminal umum sukses mencegah, tapi menjadi tidak efektif dalam menghadapi radikalisme dan terrosime. Sehingga secara konseptual sesungguhnya yang diperlukan adalah kerjasama yang efektif antara polisi, militer dan dengan dukungan penuh masyarakat.
Bisa dibayangkan betapa pada menjelang akhir tahun 2018 ini saja 10 Batalyon tentara yang berada di bawah satuan tugas bersama di Sulu ternyata belum cukuf effektif menekan pergerakan terorisme. Apalagi kalau hanya mengandalkan Polisi dan aparat Pemerintah daerah setempat. Kolonel Gerry Besana, juru bicara komando Mindanao Barat, berkali-kali menginformasikan situasi aktual di lapangan kepada masyarakat melalui saluran berita media mainstream di Filipina.
Di akhir 2018, dikatakan betapa telah terjadi beberapa kejadian yang diikuti oleh operasi satuan tugas gabungan dan setidaknya 57 teroris tewas, 39 lainnya ditangkap, 202 pelaku menyerahkan diri serta 231 pucuk senjata berhasil diamankan aparat. Pemimpin kelompok ini adalah Radullah Sahiron dan Hatib Hajan Sawadjaan yang memimpin 300an lebih radikalis teroris dan bersembunyi di Sulu. Sementara 200 teroris lainnya dipimpin oleh Furuji Indama yang bersembunyi di Basilan.
- Penangkapan pelaku di Gensan dan Zamboanga
Seorang tersangka pengeboman di Barangay Apopong di Gensan (Singkatan Generas Santos) yang bernama asli Jefrey Alonzo, umur 38 tahun, pada hari minggu tanggal 16 September 2018 yang menewaskan delapan orang, dalam keadaan terluka akhirnya pada hari jumat tanggal 21 September 2018 bisa ditangkap di Cotabato selatan.
Terungkap dari penangkapan itu bahwa Alonzo adalah bagian dari kelompok Anshar Al- Khilafah yang memiliki hubungan dengan pejuang Kemerdekaan Islam Bangsa Moro – Bangsamora Indefendence Freedom Fighter (BIFF).
- Istri dan anak anggota Abu Sayyaf diamankan Marinir.
Ramai biberitakan media tanggal 20 Desember di penghujung tahun 2018, dua orang anak, Raiza 7 tahun dan Pirhana 2 tahun beserta seorang wanita bernama Manah 27 tahun (ibu Raiza dan Pirhana) berlari-lari menjauhi dan meninggal rumah dan masuk direrimbunan hutan bakau demi menghindari kontak tembak antara teroris dan aparat di Patikul, Sulu. Di hutan mereka terjebak selama tiga hari tanpa makan dan minum. Dalam sebuah pencarian besar besaran, dengan menyisir hutan bakau, akhirnya satuan tugas Angkatan laut Western Mindanao dari kompie ke 61 dan kompie ke 62 dapat menemukan mereka. Selanjutnya mereka membawanya ke Markas kamp Teodulfo Bautista di Bus Barangay, Jolo. Penemuan ibu dan anak-anak anggota Abu Sayyaf itu dibarengi dengan operasi-operasi lain yang dilakukan secara masif di Jolo. Tujuh teroris dan seorang marinir terbunuh dan tiga tentara lainnya terluka dalam pertempuran berikutnya di Pulau Minis.
- Rencana pengeboman awal tahun 2019 yang gagal
Dalam sebuah operasi pada hari Sabtu tanggal 12 Januari 2019 menjelang waktu subuh, satuan tugas Batalyon Infantri ke 33 Angkatan Darat Filipina setelah mendapat informasi yang utuh dari jejaring informan yang ditanam pada target tersebar dan memperoleh informasi signifikan dan identifikasi tentang adanya beberapa bomb siap meledak dan beberapa senjata yang disembunyikan di tempat terpencil di Barangay Pagalad. Akhirnya beberapa barang berhasil disita dan menggagalkan semua rencana besar teroris yang ingin meledakkan pusat keramaian di kota Sultan Kudarat.
Bahan peledak, bom rakitan yang siap pakai, alat pemicu yang nyaris sempurna tersebut rencananya akan digunakan oleh teroris untuk meledakan pusat keramaian Damakling Sultan Kudarat dalam minggu itu juga. Dalam operasi tersebut lima orang turut ditangkap tanpa perlawanan berarti. Pada penangkapan tersebut petugas juga menyita bom rakitan dan 3 pucuk pistol M1911A1. Akhirnya dengan kekuatan maksimal satuan tugas gabungan Batalyon Infanteri ke-33, Batalyon Aksi Khusus ke-4, personil Investigasi Kriminal reserse Polisi, Grup Deteksi-ARMM, dan Kantor Polisi Provinsi Maguindanao berhasil mengepung sarang teroris tersebut pada jam 3 Pagi.
Tersangka utama dalam kasus tersebut adalah ustadz Abu Jihad dan Ustadz Yasser. Kedua orang tersebut sejatinya ingin melakukan perlawanan, namun karena mereka kalah cepat dan melihat gelagat yang akan menyulitkan mereka, maka untuk menghindari penangkapan, dua pimpinan itu melompat ke sungai Liguasan Marsh yang keruh. Dan baru bisa ditangkap kembali beberapa jam kemudian. Besok paginya jam 10 pagi, tim operasi melanjutkan operasi ke Barangay Makainis yang berangkat dari kota Jenderal Salipada Pendatun untuk menjemput lima anggota Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro atau Bangsa Moro Indefendence Freedom Fighter (BIFF) yang sebelumnya telah menyerahkan diri.
Pimpinan BIFF di sini adalah Mayogantong Bansil teroris yang pernah terlibat dalam beberapa serangan terhadap pasukan pemerintah dan penduduk sipil sebelumnya. Anak buah Mayogantong Bansil akhirnya menyerahkan diri setelah mengetahui mereka makin terdesak atas kehadiran pasukan di kota Paglat dan sekitarnya. Mayogantong Bansil turut menyerahkan diri. Sang pemimpin dan anak buahnya, di samping menyerahkan diri juga menyerahkan empat pucuk senjata api kal 50 Sniper Rifle, dua M1 Garand Rifles, serta 40mm M79 Grenade Launcher. Sejak darurat militer dan pelaksanaan operasi Febuari 2018 lalu , 203 pemberontak komunis dan 37 Pejuang Kemerdekaan Islam Bangsamoro atau BIFF telah menyerahkan diri kepada Pemerintah.
Pengaruh Operasi Situasi dan Radikalisme di Eks Walayat
Hakekat keberadaan terorisme pada tataran aplikasi (dalam arti umum ) adalah perlawanan terhadap negara untuk merubah bentuk ataupun dasar negara dengan cara radikal dengan menggunakan cara-cara kekerasan menggunakan simbol agama yang pro kekerasan. Idiologi negara pro kekerasan atau kepentingan lain pro kekerasan dengan menggunakan bahan peledak, senjata api, atau senjata senjata lain sejalan dengan Undang-undang negara di mana kasus terorisme terjadi.
- Fight against terrorism
Ini adalah konsep umum yang dipakai pasca peristiwa nine – eleven. Sederhananya adalah ” memerangi terorisme” (war against terrorism). Kelompok atau orang-orang yang terlibat terorisme harus diperangi dengan model “perang “. Doktrin perang adalah “membunuh atau dibunuh”
- Hard approach atau pendekatan keras.
Pendekatan ini adalah pendekatan memenjarakan teroris melalui penegakan hukum, penangkapan dan bertukar informasi intellijen. Pendekatan ini cukup efektif dalam menekan pertumbuhan, tapi tidak mampu menghentikan pertumbuhan terorisme.
- Soft approach adalah pendekatan nir-kekerasan.
Pendekatan ini lebih mengedepankan pendekatan berbagai disiplin ilmu seperti sosiologis, psikologis,kriminologis, teologis bahkan ilmu budaya dalam bentuk dialog aktif atau narasi- narasi yang dikemas dalam kegiatan kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Kontra radikalisasi menyasar pada masyarakat, kelompok, komunitas, dan klaster sosial yang rentan atau mungkin dipengaruhi paham radikal terorisme. Sedangkan deradikalisasi adalah kegiatan yang mentargetkan tahanan teroris, mantan teroris, keluarga teroris yang sudah terinfeksi radikalisme yang kemudian harus direduksi. Adapun pelaku pendekatan program bisa berasal dari tokoh agama apabila terorisme berdasar pada doktrin agama pro kekerasan, insider atau mantan teroris ataupun aparat yang kapabel menjalankan program yang mampu membangun ikatan emosional pada target program.
Melihat apa yang dilakukan oleh Filipina, sejatinya saya Melihat Filipina baru menggunakan pendekatan keras, di mana darurat militer dibarengi dengan berbagai penangkapan yang masif. Namun dalam proses penegakan hukumnya ada bahkan terdakwa yang nyata-nyata terlibat terorisme, namun kemudian dibebaskan karena tidak memenuhi unsur delik pidana (kasus Muhamad Yusuf Karim Faiz sekarang Abu Walid ).
Bagaimana pendapat penulis tentang Filipina? Menurut pendapat penulis, Filipina harus menggunakan pendekatan yang integtatif, yaitu hard approach bersinergi dengan soft approach, dengan penegakan hukum yang proporsional, penggunaan militer terbatas pada doktrin PBB tentang perbantuan militer, yaitu ” militery can assist when situation in beyond police capacity. Bila hanya pendekatan hard approach menggunakan militer saja, maka akan lahir radikalis baru tanpa mampu dikontrol pemerintah perkembangan dan penyebarannya.
Semoga Filipina berhasil mengamankan wilayahnya