Meski JI Bubar, Ancaman Radikal Terorisme Masih Mengintai

Surabaya – Kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) telah membubarkan
diri. Tapi pembubaran itu tidak lantas terorisme di Indonesia hilang.
Karena itu program-program pencegahan harus terus dikembangkan karena
ancaman radikal terorisme itu masih mengintai.

Hal itu ditegaskan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT)
Jawa Timur, Prof Husniyatus Salamah Zainiyati dalam Talkshow Duta
Damai bertajuk ‘Penanggulangan Terorisme Pasca Bubarnya Jamaah
Islamiyah’ di Aula Bakesbangpol Jawa Timur, Rabu (16/4/2025).

“Bubarnya JI bukan berarti selesai. Justru pasca pembubaran, sel-sel
tersembunyi (sleeper cells) dan pola perekrutan semakin halus dan
terstruktur,” ujarnya dikutip dari laman NU Online.

Prof Titik sapaan akrabnya memaparkan bahwa eks anggota JI kini banyak
menyusup ke organisasi sosial dan keagamaan, mendirikan lembaga
pendidikan, hingga memanfaatkan media dakwah digital untuk menyebarkan
ideologi radikal.

“Mereka juga melakukan penguatan ekonomi internal melalui yayasan,
kotak amal, hingga usaha legal yang disusupi untuk pembiayaan
jaringan,” terangnya.

Prof Titik juga menjelaskan lima poin penting terkait dinamika
jaringan terorisme di Indonesia setelah pembubaran JI. Pertama,
terjadi transformasi jaringan terorisme. Kelompok radikal kini
bertransformasi menjadi sel-sel kecil yang tersembunyi dan cair, namun
tetap aktif dalam merekrut anggota serta melakukan kaderisasi melalui
berbagai saluran, termasuk media sosial dan pendidikan nonformal.

“Kedua, muncul fragmentasi dan kemunculan kelompok baru. Beberapa
kelompok seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia
Timur (MIT) menjadi aktor dominan dalam aksi-aksi teror pasca 2010.
Mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh JI dengan strategi
yang lebih ekstrem,” ungkapnya.

Ketiga, terjadi perubahan strategi dan taktik, khususnya melalui
serangan individual atau lone wolf, yang sulit dideteksi karena
dilakukan secara mandiri tanpa struktur komando yang jelas. Keempat,
Prof Titik menyoroti pentingnya mewaspadai peran ideologi dan narasi
kekerasan. Ideologi takfiri yang mengkafirkan kelompok lain di luar
kelompok mereka masih menjadi fondasi utama gerakan radikal dan terus
digunakan untuk membenarkan kekerasan.

Kelima, ia menegaskan adanya ancaman radikalisasi digital. Media
sosial dan internet berperan besar dalam penyebaran paham ekstrem.
Narasi intoleran, kekerasan simbolik, dan propaganda jihad digital
menjadi alat efektif dalam mempengaruhi generasi muda.

“Digitalisasi menjadi lahan baru yang subur bagi radikalisme. Kita
harus hadir di ruang digital untuk menandingi narasi mereka,” tegas
Prof Titik.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini
juga menyampaikan strategi pencegahan radikalisme berbasis analisis
jaringan sosial (Social Network Analysis/SNA). Strategi ini dapat
mengidentifikasi aktor kunci, titik strategis intervensi, serta pola
komunikasi dan mobilisasi ideologi.

“Pendidikan toleransi harus dimasukkan ke dalam kurikulum keagamaan
dan pendidikan formal. Nilai-nilai Pancasila, multikulturalisme, dan
moderasi beragama wajib menjadi dasar dalam membangun kebangsaan,”
paparnya.

Selain itu, ia mendorong pendekatan persuasif kepada eks narapidana
teroris sebagai agen deradikalisasi. “Libatkan tokoh ulama moderat,
anak muda, influencer muslim, hingga lembaga dakwah mainstream untuk
membanjiri ruang digital dengan narasi perdamaian,” tegasnya.