Apa hubungan antara terorisme dan premanisme? Sebelum penulis mengurai korelasi tersebut, rasanya penting untuk menceritakan sedikit narasi sebagai background untuk memberikan postulasi hubungan terorisme dan premanisme. Asumsi dasar yang ingin saya kemukakan bahwa sebenarnya terorisme tidak selalu terkait dengan agama. Atau seseorang menjadi teroris ada kalanya karena faktor non-ideologis seperti dendam dan kebencian. Dengan beberapa bukti faktual yang harus dikemukan bahwa banyak teroris dalam pengalaman penulis berinteraksi yang sesungguhnya dangkal dalam beragama. Tidak hanya itu, banyak pula dari mereka yang sesungguhnya berlatarbelakang preman.
Pasca tertembaknya pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso, masih ada kelompok inti yang ditangkap, kemudian istrinya juga ikut tertangkap. Tersangka yang membawa istrinya masuk hutan bersama Santoso tersebut sudah pernah ditangkap dalam sebuah operasi penegakan hukum pada tanggal 22 januari 2007 dan dikenai beberapa tuduhan mulai dari pembunuhan Kepala desa Pene Dapa, pembunuhan 3 siswi di bukit bambu serta pidana yang lain yang ke semuanya bisa dibuktikan di pengadilan. Ia berhasil melarikan diri dari Lapas di Sulawesi Tengah, selanjutnya lari masuk hutan untuk bergabung bersama Santoso.
Pada penangkapan terakhir, para penyidik yang pada tahun 2007 tidak terlibat penangkapan yang bersangkutan begitu terkaget-kaget ketika melihat tersangka ternyata memiliki tattoo di sekujur tubuhnya dengan beraneka gambar termasuk gambar pinokio. Dan penulis sendiri yang sempat berkomunikasi pasca tertangkap pada tahun 2007 dulu berpendapat sebetulnya tersangka ini pengetahuan keagamaannya tidak terlalu baik.
Dari satu contoh ini penulis mulai terbuka bahwa sebenarnya istilah jihad, mujahid, khilafah yang mereka dengungkan hanya lipstik yang tidak mereka dalami pengertiannya. Jika mereka klaim diri sebagai mujahid sejatinya tidak ada satu pun dari sikap dan perilakunya yang mencerminkan seorang mujahid, tetapi lebih mirip sebagai preman. Bayangkan tokoh penting dalam gerakan yang mereka klaim sebagai mujahid ternyata tidak mempunyai dasar keagamaan yang kuat, tetapi lebih tampak sebagai geng brutal.
Kasus yang lain penulis temukan beberapa minggu yang lalu adalah seorang terdakwa kasus bom Polresta Solo yang bertugas menyiapkan sepeda motor untuk Nurohman. Selama berinterkasi dengan terdakwa penulis juga menyimpulkan bahwa ia tidak pandai mengaji, sholat asal-asalan, badannya penuh tatoo dengan bermacam-macam gambar. Apa yang semakin meyakinkan penulis adalah pengakuannya yang lugas “saya ini sebenarnya preman, Saya belajar ngaji baru sekarang di penjara ini” ujarnya.
Penulis semakin penasaran dan mencoba menggangali konsep apa yang ingin dicapai dalam bergabung dalam gerakan tersebut? Dia juga menolak menjawab karena ketidaktahuannya. Ditanya tentang konsep khilafah dan hijrah yang digadang-gadang oleh kelompok ini dia pun tidak bisa menjawab. Namun, saat ditanya keahlian apa yang dia miliki, dia tegas menjawab ” berkelahi”. Akibatnya dia dimusuhi oleh teroris lain di lapas itu.
Memang banyak faktor yang menyebabkan seseorang jatuh dalam perangkap jaringan terorisme. Keberagaman ini sejalan dengan peran dan motif seseorang dalam jaringan terorisme. Dalam penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Research Team, 2012 tentang Research on Motivation and Root Cause of Terrorism kerjasama Densus 88, Kementerian Luar Negeri dan INSEP ditemukan fakta menarik. Dalam struktur jaringan terorisme dapat dikategorikan dalam tiga level pemimpin (leader), menengah (mid management) dan pengikut (follower). Dari ketiganya faktor penyebab dan motif sangat beragam dari ideologi keagamaan, perasaan solidaritas umat, persoalan psikologis, dendam dan lain-lain.
Kebanyakan pelaku teror adalah mereka yang memiliki peran sebagai pengikut. Faktor ideologis kebanyakan hanya berkisar pada level pemimpin dan menengah, sementara para pengikut banyak faktor yang mendorong mereka menjadi pelaku teror. Faktor psikologi dan faktor dendam mempunyai porsi besar bagi mereka yang hanya terjerat dalam jaringan terorisme. Karena itulah, menjadi sangat wajar ketika penulis berbincang dengan ragam pelaku teror di dalam penjara. Kebanyakan dari mereka tidak mengerti tujuan gerakan yang mereka lakukan. Istilah jihad, khilafah, kafir, thogut dan narasi lainnya hanya menjadi semboyan dari pengetahuan yang sebenarnya tidak mereka dalami.
Keragaman level pengetahuan pelaku teror menunjukkan bahwa sebenarnya dalam jaringan terorisme terdapat kesenjangan pengetahuan tentang apa yang hendak mereka capai. Jika pelaku teror ditanya tentang cita-cita gerakan mereka, tentu mereka tidak tahu secara mendalam kecuali para kelompok inti dan ideolognya. Namun, hal yang terdistribusi secara merata dalam jaringan tersebut adalah ideologi kebencian dan dendam. Karena faktor ideologi kebencian dan dendam itulah maka siapapun dengan kadar emosional, psikologis dan jati diri yang rentan termasuk preman dapat menjadi pelaku teror.
Kembali pada dua kasus yang telah saya ceritakan di atas bahwa terorisme yang bernuansa kekerasan sangat dekat dengan premanisme. Ada sisi kesamaan antara terorisme dan premanisme yang selalu mengumbar kekerasan dalam setiap aksinya. Ideologi kekerasan, kebencian dan dendam yang dibungkus rapi akan menjerat siapapun termasuk para preman untuk bergabung dalam gerakan teror. Tidak perlu pemahaman keagamaan yang handal untuk mengerti tujuan jihad dan khilafah yang terpenting adalah keinginan mereka yang tercemari dendam untuk melakukan aksi kekerasan.
Jika pelaku teror banyak yang berlatar belakang preman dengan ragam tattoo di tubuhnya sebenarnya bukan hal yang mengherankan. Jika para pelaku teror juga banyak yang tidak mendalami agama dan tidak mengerti arah tujuan gerakannya juga tidak mengejutkan. Faktor dendam dan kebencian sesungguhnya telah diperalat oleh jaringan terorisme untuk merekrut siapapun yang potensial untuk dijadikan korban. Saya jadi teringat dengan Ali Imron, teroris senior yang berada di lapas dengan pidana seumur hidup yang mengatakan, “bom saat ini adalah bom ecek-ecek yang dibuat oleh preman kampung”.