Teror bom di Boston, AS, Senin (15/4) lalu hingga menewaskan tiga orang, menunjukkan terorisme masih menjadi ancaman laten bagi keamanan dan perdamaian. Kerja sama internasional mutlak dibutuhkan untuk mengatasi ancaman terorisme yang masih menjadi tantangan global. Oleh karena itu, perlu mengatasi akar penyebab dan kondisi yang memicu munculnya terorisme.
Sepak terjang Osama bin Laden sebagai pemimpin tertinggi jaringan teroris internasional Al Qaeda telah berakhir pada 1 Mei 2011. Namun, kita menyadari bahwa kematian Osama bukan akhir terorisme di dunia. Justru sebaliknya, kita perlu meningkatkan kewaspadaan menangkal aksi balas dendam pendukung dan simpatisan Osama di seluruh dunia, maupun aksi teror yang dilakukan jaringan di luar Al Qaeda.
Tragedi pengeboman di garis finish lomba maraton Boston, memang belum diketahui siapa dalangnya, apakah jaringan Al Qaeda atau jaringan lain. Namun, sekali lagi hal itu cukup membuktikan bahwa terorisme masih eksis.
Dalam skala global, sangat penting untuk mengatasi akar penyebab terorisme dan menghilangkan kondisi yang mengundang ke arah terorisme. Salah satunya adalah melalui upaya global mengatasi masalah kemiskinan, masalah sosial, dan ketidakadilan. Dalam konteks ini, memenangkan hati dan pemikiran di kalangan yang berpotensi sebagai ladang subur tumbuh berkembangnya terorisme, radikalisme, dan ekstremisme, adalah upaya yang paling cerdas.
Sebagai bagian dari dunia yang telah dicengkeram terorisme, Indonesia juga tak boleh ketinggalan dalam perang terhadap terorisme. Apalagi, Indonesia beberapa kali terkoyak aksi teroris. Tak hanya itu, negara ini juga menjadi tempat persemaian paham terorisme dan radikalisme.
Terkait hal itu, terorisme tak bisa ditangkal dan dilawan dengan kekuatan senjata atau operasi militer. Terorisme juga tak bisa dibungkam dengan setumpuk aturan hukum mengenai intelijen dan antiteror. Semua itu hanya bisa melumpuhkan teroris dan hal-hal yang telah muncul dan terdeteksi di permukaan.
Terorisme dan radikalisme sebagai sebuah ideologi, akan lebih efektif jika dilawan dengan ideologi yang telah disepakati menjadi empat pilar utama, yakni NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, ditambah pemahaman agama yang tepat.
Bila diformulasikan, ada tiga langkah yang perlu diambil untuk menumpas dan menangkalnya. Pertama, secara represif, berupa perburuan para teroris yang telah dideteksi. Hal ini untuk mempersempit ruang gerak teroris.
Kedua, langkah preventif dengan meningkatkan kewaspadaan di tempat-tempat yang berpotensi menjadi target serangan teroris, seperti hotel mewah, pusat perbelanjaan, kantor pemerintahan dan objek-objek vital, termasuk yang terkait dengan kepentingan asing.
Ketiga, langkah preemptive dengan mengintensifkan kontraterorisme. Langkah ini tidak hanya melibatkan aparat keamanan dan intelijen, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat, agar tidak tercipta komunitas yang menjadi tempat persemaian terorisme dan radikalisme.
Terkait langkah preemptive ini, harus disadari dua karakter massa yang rawan disusupi paham terorisme dan radikalisme, yakni kemiskinan dan rendahnya pendidikan, yang banyak dijumpai di Indonesia. Kemiskinan adalah pangkal dari rendahnya pendidikan. Rakyat yang kurang pendidikannya, dengan mudah diindoktrinasi dengan pandangan hidup dan pemahaman yang sesat, yang mengarah pada terorisme dan radikalisme.
Dalam perkembangannya, kemiskinan dan rendahnya pendidikan bukan faktor utama yang menyuburkan terorisme dan radikalisme. Berkaca pada kasus teror bom terakhir yang terjadi di Tanah Air, pelakunya justru dari kalangan terdidik, dan tergolong bukan rakyat jelata.
Oleh karenanya, aparat keamanan dan intelijen harus mendeteksi dan memantau kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan perguruan tinggi, serta ceramah-ceramah keagamaan di tempat ibadah, yang disinyalir menyebarkan pemahaman yang salah. Selain memperkuat operasi intelijen, perlu juga dikembangkan pendampingan di basis-basis massa yang dinilai rawan. Pelibatan masyarakat tersebut, selain untuk mencegah meluasnya indoktrinasi ajaran sesat, terutama yang mengatasnamakan agama, sekaligus memutus mata rantai perekrutan teroris baru. Upaya mematahkan terorisme menjadi krusial dan seolah tiada akhir.
Hal terpenting yang harus dilakukan adalah mematikan tempat persemaiannya, yakni ketimpangan ekonomi dan sosial, serta pendidikan spiritual dan intelektual. Di sisi lain, selama masih ada ketidakadilan, kemiskinan, dan kebodohan, terorisme akan tetap bertumbuh subur. Ini adalah masalah universal, yang menuntut partisipasi AS dan negara-negara Barat untuk memberikan bantuan memberantas kemiskinan dan meningkatkan pendidikan.
Sumber: beritasatu