Resolusi Jihad Upaya Kembangkan Prinsip Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan

Blitar –  Resolusi Jihad merupakan pemikiran brilian dari para kiai di
bawah komando Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Resolusi Jihad pun
menjadi momentum bagi bangkitnya kesadaran umat Islam untuk melawan
Belanda.

Pernyataan itu diucapkan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA)
Prof Dr H Nur Syam saat menjadi pembicara dalam seminar kebangsaan
memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2024 yang digelar oleh PW NU
Jatim bekerja sama dengan Universitas NU Kabupaten Blitar di Gedung
Graha NU Kabupaten Blitar, Jatim, Minggu (27/10/2024).

“Peristiwa heroik 10 November 1945 menjadi bukti betapa dahsyatnya
seruan jihad bagi umat Islam untuk mengusir Belanda dan tentara
sekutunya,” kata Nur Syam.

Menurutnya, jihad merupakan upaya untuk menjaga dan mengembangkan
Islam rahmatan lil alamin sesuai dengan penafsiran ulama salaf yang
saleh yang ingin membumikan Islam sesuai dengan karakter lokalitas
yang menjadi tempat berpijak umat Islam. Juga untk mengembangkan
prinsip keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan.

Ia mengatakan masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami tantangan
luar biasa, terutama umat Islam. Tantangan tersebut adalah semakin
menguatnya Artificial Intelligence (AI), yang ke depan akan dapat
menjadi pesaing bagi manusia. Dengan diciptakannya robot AI, banyak
pekerjaan yang akan diambil alih oleh robot.

“Generasi Z atau Gen Z sedang berada di era ini. Sebuah era yang
menawarkan kemudahan tetapi juga kerumitan. Gen Z akan dapat
memperoleh informasi dengan cepat dan tepat hanya dengan menggunakan
aplikasi yang sudah tersedia di telepon seluler,” kata dia.

Menurut dia, Gen Z juga harus siap dengan berbagai kemajuan. Mereka
harus memiliki empat kompetensi atau four competency yang disingkat
Four C, yaitu critical thinking and problem solving, creativity and
innovation, communications and collaborations.

“Gen Z harus memiliki kemampuan untuk berpikir kritis tetapi
konstruktif. Berpikir kritis tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan
nusa, bangsa, dan agama. Bukan untuk kepentingan ideologi yang tidak
jelas, misalnya berpikir kritis untuk menggantikan ideologi bangsa,
Pancasila, dengan ideologi keagamaan, misalnya ideologi Islam,” kata
dia.

Saat ini, lanjutnya, seluruh anak bangsa harus berpikir kreatif dan
inovatif, yakni memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi kreatif
di dalam diri untuk mendapatkan inovasi baru yang bermanfaat untuk
diri dan masyarakat. Kemampuan kreatif dan inovatif terkait dengan
bakat, tetapi juga bisa dioptimalkan melalui pendidikan dan pelatihan.

Ia menganjurkan milenial harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi,
sebab kemampuan untuk menyampaikan gagasan, ide, pikiran dalam
komunikasi verbal, komunikasi nonverbal dan sebagainya sangat
menentukan terhadap keberhasilan yang bersangkutan.

“Gen Z juga harus mempunyai kemampuan untuk berkolaborasi. Kemampuan
kerja sama sangat dominan di era digital, sebab nyaris semua orang
yang berhasil disebabkan oleh kemampuannya untuk bernegosiasi,
berkomunikasi, dan berkolaborasi,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini eranya kerja tim dan bukan kerja individu. Untuk
mereaktualisasikan hal ini, Gen Z NU harus memasuki pendidikan yang
berkualitas, bekerja yang optimal, bekerja sama dengan para ahli dalam
kapasitasnya masing-masing agar pikiran kreatif dan inovatif akan
dapat diaktualkan.

“Jadi, jihad bukan bermakna perang terutama di era damai. Jihad harus
dimaknai sebagai upaya untuk berusaha secara sungguh-sungguh berbasis
pada talenta yang dipadukan dengan berpikir kritis, kreatif, dan
dibarengi dengan kemampuan komunikasi dan kolaborasi. Gen Z NU harus
optimistis bahwa masa depan Indonesia itu berada di tangannya,” kata
dia.

Seminar tersebut diikuti sekitar 400 peserta terdiri dari santri,
kiai, mahasiswa, PCNU Kabupaten dan Kota Blitar beserta banomnya.