Tantangan Penanggulangan Terorisme Pasca Pembubaran JAD

Tantangan Penanggulangan Terorisme Pasca Pembubaran JAD

Jamaah Ansharut Daulah atau biasa disingkat JAD telah resmi dibubarkan oleh pemerintah. Pembubaran organisasi yang diketahui memiliki afiliasi dengan kelompok teroris internasional ISIS ini terjadi pada 31 Juli 2018 lalu di pengadilan negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Pasal 17 ayat 1 dan ayat 2 Jo Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidara Terorisme.

Kelompok yang kini dipimpin oleh Zainal Anshori menggantikan Marwan alias Abu Musa yang kabur ke Suriah ini terbukti memiliki sejarah kelam di berbagai kejadian terorisme. Simpatisan dan anggota JAD terbukti secara bergantian memainkan peran di berbagai serangan terorisme yang terjadi di negeri ini, beberapa di antaranya adalah kerusuhan di Rutan cabang Salemba (Mako Brimob), Bom Surabaya dan Pasuruan.

Pasca kejadian di rutan cabang Salemba saja, pihak kepolisian telah menangkap 245 anggota JAD atas keterkaitannya terhadap terorisme. Hal ini semakin menguatkan bukti betapa JAD adalah kelompok yang berbahaya. Mereka tak hanya mengusung terorisme sebagai ideologi besarnya, tetapi juga kebencian terhadap persatuan dan persaudaraan yang telah mendarah daging di bangsa ini.

Apa yang diperjuangkan oleh kelompok teroris memang tampak tak masuk akal di pikiran kita; kemajuan dan segala pencapaian yang telah kita ciptakan dipandang tak berguna, sebagai gantinya, kelompok teroris memaksa kita untuk mundur lagi ke jaman kegelapan. Meninggalkan sistem kenegaraan yang sudah ada untuk kembali ke konsep khilafah yang antah barantah.

Meski begitu, sebagaimana diperingatkan oleh Brian Michael Jenkins dalam “Unconquerable Nation: Knowing our Enemy, Strengthening ourselves”, kelompok teroris selalu dapat menemukan pembenaran atas segala hal yang mereka lakukan. Mereka menjadikan kepercayaan dan pengalaman pribadinya sebagai konteks untuk memahami dan kemudian meng-amini tindakan-tindakan brutal yang mereka lakukan.

Di mata mereka, mereka sedang berjihad, bukan jahat.

Pengalaman dan pemahaman orang lain tak pernah dianggap sebagai hal yang penting untuk dipertimbangkan. Bagi kelompok teroris, kebenaran adalah yang sesuai dengan apa yang mereka yakini saja. Karenanya, pembubaran JAD oleh pemerintah selayaknya dipahami sebagai upaya nyata negeri ini untuk menarik kaki-kaki para teroris yang selama ini mengambang di awang-awang agar kembali menginjak bumi; mencecap kenyataan, dan keluar dari lubang khayalan.

Meski kita semua tentu tahu dibutuhkan lebih dari sekedar pembubaran organisasi untuk memastikan terorisme benar-benar mati. Dengan kata lain, pemerintah perlu memastikan bahwa pembubaran organisasi JAD bukanlah langkah akhir penanganan terorisme. Berbagai upaya serius perlu terus dilakukan agar benih-benih terorisme, baik yang terwadahi dalam organisasi maupun individu, dapat segera diatasi sebelum berbuah aksi keji.

Untuk konteks ini, jumlah dan kapasitas penegak hukum perlu terus ditingkatkan. Mulai dari jumlah aparat kepolisian, tim penuntut hukum, jaksa, hingga sipir di penjara yang menampung terpidana kasus terorisme, semuanya perlu lebih dikuatkan. Perlindungan kepada aparat negara juga tak boleh dikesampingkan. Kita kuatkan barisan.

Program deradikalisasi pun perlu terus digenjot agar dapat berjalan secara efektif dan maksimal. Salah satunya dengan meningkatkan sinergi dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif untuk turut mengambil peran dalam menjaga bangsa ini dari bahaya terorisme. Sebab keterlibatan seluruh elemen bangsa ini adalah kunci utama untuk menjadi –meminjam istilah Brian Michael Jenkins— bangsa yang tak terkalahkan, khususnya oleh terorisme.

Karena pada akhirnya, kita semua akan akan mengerti bahwa terorisme tak bisa hanya dilawan dengan gencatan senjata. Persatuan dan kesatuan bangsalah yang dibutuhkan untuk membabat habis terorisme, hingga ke benih-benih terkecilnya. Dan saat itu terjadi, kita baru akan menjadi Unconquerable nation.