Seiring waktu berlalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dibentuk pada tanggal 16 Juli 2010 atas desakan Komisi 1 DPR itu diresmikan oleh Presiden SBY dengan dasar hukum peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010, dan diperkuat lagi dengan peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012. Meski secara yuridis formal eksistensi Badan ini belum memiliki kekuatan secara yuridis formal seperti Badan negara lainnya.
Berangkat dari ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi akan pentingnya penanganan paham radikal dan aksi pelaku teror yang menewaskan banyak manusia tidak berdosa sejak peristiwa ledakan bom Bali 1 tanggal 12 Oktober 2002 yang menewaskan 2002 orang itu, Pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Meskipun UU tersebut belum memenuhi harapan masyarakat akan tindakan hukum yang tegas dari pemerintah kepada para terduga aksi terorisme, semua aksi terorisme di Indonesia dapat ditangani oleh aparat penegak hukum terutama dari aspek penindakan. Namun UU Nomor 15 Tahun 2003 belum mencakup aspek Pencegahan bagi penyebar kebencian dan Rehabilitasi bagi mereka yang telah mengalami proses hukum dan kembali kepada masyarakat.
Mencegah lebih utama dari menindak, karenanya sebagai Badan negara yang mendapat amanah menangani kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), BNPT lebih mengedepankan aspek pencegahan. Merintis banyak upaya dalam merumuskan dan memasyarakatkan upaya pencegahan menyebarnya paham radikal dan secara dini waspada terhadap kemungkinan aksi ledakan bom yang bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia.
Pada pertengahan awal Tahun 2012 atas dasar peraturan Kepala BNPT Nomor Perka/01/BNPT/10/2010 tentang Tata Kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dibentuklah wadah khusus yang dapat menjadi mitra strategi BNPT di daerah, sekaligus menjadi perpanjangan tangan BNPT di daerah dalam memasyarakatkan eksistensi badan negara ini, serta untuk mengajak seluruh komponen bangsa dan segenap lapisan masyarakat mewaspadai bahaya radikalisme dan terorisme. Di bawah Kedeputian 1 Direkturat Derdikalisasi dibentuklah Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) pertama di Nusa Tenggara Barat, dan secara berturut-turut dibentuk di daerah lainnya. Hingga saat ini sudah terdapat 30 FKPT di setiap provinsi. FKPT yang dibentuk baru saja adalah FKPT Sulawesi Barat, wilayah selanjutnya akan dibentuk di propinsi Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat.
Kehadiran forum ini di tengah masyarakat mendapat respon yang sangat baik, terutama dari para tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama, tokoh pemuda dan perempuan, tokoh adat dan kalangan jurnalis. Semua berharap besar kepada negara agar kejahatan terorisme dapat dihentikan aksinya dan diproses sesuai aturan hukum yang berlaku bagi para pelakunya. Lebih dari itu, pemerintah juga diharap mampu membongkar jaringannya agar paham kekerasan tidak lagi terjadi. Masyarakat juga meminta pemerintah untuk melakukan rehabilitasi bagi korban aksi terorisme dan juga terhadap mantan teroris agar menyadari kesalahannya dan tidak lagi mengulanginya di masa mendatang.
Bukti antusiasme masyarakat akan kehadiran forum yang mengkoordinasikan pencegahan terorisme di tingkat daerah ini ditunjukkan dengan respon cepat masyarakat dalam mengkoordinir FKPT di daerah masing-masing. Sehingga upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dapat segera dilakukan.
Secara organisasi, setiap FKPT diawaki oleh 8 orang pengurus utama dengan rincian sebagai berikut: ketua, sekretaris, bendahara yang membawahi 5 ketua bidang; 1. Bidang pemberdayaan agama, pendidikan dan dakwah 2. Bidang pemberdayaan hukum dan ekonomi 3. Bidang pemberdayaan pemuda dan perempuan 4. Bidang pemberdayaan media, humas dan sosialisasi, serta 5. Bidang pengkajian dan penelitian. Secara umum bidang-bidang yang dibentuk dapat mencakup sektor-sektor yang perlu dikoordinasikan dalam mebangun hubungan komunikasi dengan pemerintah daerah serta menjadi mediator dalam menjalankan program pencegahan secara nasional dengan BNPT.
Komposisi pengurus yang mencakup lima bidang tersebut sangat menentukan arah dan strategi pencegahan paham radikal di daerah. Bidang pendidikan, agama dan dakwah misalnya, bidang ini sangat dibutuhkan dalam upaya mengidentifikasi penyebaran paham-paham radikal atas nama agama melalui lembaga rumah Ibadah, lembaga pendidikan keagamaan, serta lembaga dakwah yang ada dan tumbuh subur di daerah. Dalam menjalankan fungsinya, bidang ini mutlak berkomunikasi aktif dan produktif dengan Forum Komunikasi Umat Beragam (FKUB) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebab fenomena keberagamaan dalam keragaman sangat tinggi dinamikanya di dalam masyarakat. Banyak bukti menguatkan bahwa agama dapat dipergunakan sebagai cover dalam melampiaskan emosi dan birahi politik atas nama agama.
Pendidikan yang tidak komprehensif dan pluralis dengan mudah dapat melahirkan klaim-klaim kebenaran bagi kelompok radikal, karenanya bidang agama, pendidikan dan dakwah bertugas untuk pro aktif membangun komunikasi dengan semua stake holder di daerah, serta mengkoordinasikannya dengan semua tokoh yang berpengaruh di wilayah, agar semua anak didik dari seluruh level pendidikan mengenal, mewaspadai, serta mejauhi pengaruh bahaya paham radikal di daerah. Kasus mati konyolnya 13 orang pelaku bom bunuh diri di Indonesia sejak tahun 2002 menjadi cerminan untuk tidak terpengaruh dan bahkan tidak bersimpati terhadap aksi biadab tersebut.
Peran tokoh pendidikan, akademisi dan orang tua sangat menentukan pembentukan watak anak didik yang lebih humanis dan jauh dari watak anarkis. Seorang pendidik atau guru bukan hanya mengajar banyak ilmu, tetapi juga harus mendidik anak sekolah agar dapat menghasilkan generasi yang terdidik. Pendidikan yang komprehensif membentuk watak anak didik mengenal jati dirinya sebagai generasi pelanjut perjuangan bangsa, dapat pula menjauhi pengaruh paham radikal yang dengan mudah diikuti oleh generasi lainnya yang belum memahami paham tersebut.
Demikian pula bidang-bidang lainnya, terutama bidang pemberdayaan media, humas dan sosialisasi, menyebarnya pengaruh paham radikal melalui media sosial tidak terbendung lagi. Semua orang, semua usia dapat mengakses seluruh informasi dari media online. Dunia kini tak berbatas lagi, segalanya dapat ditemukan hanya dengan ujung jari, propaganda dan provokasi radikalisme dan terorisme sangat mudah ditemukan, dibaca bahkan dipelajari.
Di sinilah bidang pemberdayan media berperan dalam membentngi masyarakat dari pengaruh penyebaran radikalisme terorisme, terutama yang brtebaran di media. Melalui bidang yang ditangani oleh tokoh jurnalis ini, media dimaksimalkan untuk fokus memberikan berita yang lebih mendamaikan dan menyejukkan masyarakat. Sehingga secara tidak langsung masyarakat waspada terhadap pengaruh menyebarnya paham radikal di dalam masyarakat.
Namun demikian, FKPT mendapat banyak tantangan dalam melakukan upaya komunikasi dan koordinasi dalam mencegah terorisme di daerah. Setiap daerah memiliki dinamika yang sangat tinggi, di antara tantangan tersebut adalah ; pertama, Penguatan kelembagaan yang belum memiliki dasar hukum yang memadai, hal ini dapat memberi akses lebih kuat kepada pemerintah daerah tutama dalam mendukung kinerja forum dalam menyiapkan anggaran pelaksanaan program yang direncanakan.
Kedua, Respon sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa isu radikalisme dan terorisme merupakan pesanan asing. Ketiga, Sinergitas antar semua kementerian dan lembaga dalam ikut serta melakukan upaya pencegahan belum maksimal. Keempat, Masih adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa menanggulangi terorisme itu adalah tugas aparat keamanan saja. Demikianlah sebahagian tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan upaya pencegahan radikalisme dan torisme di daerah melalui FKPT.
Tantangan selalu hadir dalam menegakkan perjuangan dan mempertahankan keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap anak bangsa wajib meningkatkan pemahaman akan eksistensi pengaruh dan bahaya yang ditimbulkan paham radikal dan aksi terorisme yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam mencegah tidak ada kata salah, namun dalam menindak, tidak boleh salah, entah salah tangkap atau salah tembak.