Tangerang Selatan – Upaya perguruan tinggi negeri dan swasta dalam menangkal penyebaran paham radikalisme memang tak sekadar slogan di media massa. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), memecat dosen bercadar guna menangkal kedua paham yang penyebarannya di lingkungan kampus sudah tumbuh subur.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Dede Rosyada MA mengatakan, penyebaran paham radikalisme di dalam kampus harus bisa ditekan dan dikenali sejak dini. Baik diruang lingkup mahasiswa ataupun dosen. Berbagai macam bentuk penyebarannya, mulai dari organisasi ektra dan intra kampus, hingga melalui dosen bisa denga mudah disusupi radikalisme.
Dijelaskan, jumlah mahasiswa UIN sangat banyak yakni mencapai ratusan ribu. Untuk mahasiswa baru tahun ini yang ingin masuk UIN sebanyak 163.608 orang, naik dari tahun 2016 silam. Jumlah dosen yang mencapai ratusan orang. Banyaknya mahasiswa dan dosen, bukan hal yang mudah bagi UIN untuk melakukan pengawasan terhadap keseluruhannya.
“Kami mengantisipasinya dengan suatu kebijakan kampus. Gerakan ekstrim radikal dan gerakan yang menodai Pancasila sudah kami minimalisasi. Salah satu kebijakan itu adalah dengan melarang dan membatasi diskusi, serta aksi demonstrasi mahasiswa, baik yang tergabung dalam HTI, maupun yang terkait dengan gerakan radikal terorisme ISIS,” kata Dede Rosyada kepada wartawan, Senin (31/7/2017).
Dede mengaku, kebijakan itu diterbitkan jauh sebelum Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) terbit. “Jauh sebelum Perppu dikeluarkan, kami sudah menerapkan kebijakan itu. Kami akan bertindak tegas kepada pergerakan-pergerakan yang radikal di dalam kampus,” jelasnya.
Menurutnya, banyak ormas-ormas yang ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945, dengan paham yang mereka yakini benar dari yang ada saat ini. Untuk itu, perlu dilakukan langkah tegas mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, dia meminta pihak yang kontra kebijakan itu agar segera menempuh jalur hukum. Sebagai warga negara kita wajib untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945.
“HTI di UINmerupakan organisasi mahasiswa intra kampus yang tidak terdaftar dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan bukan bagian dari Dewan Mahasiswa UIN. Kalau mereka mau melakukan aksi atau melakukan diskusi didalam kampus, akan kita suruh keluar area kampus. Pernah mereka melakukan aksinya dan ketahuan kami, dan kami suruh keluar,” tegas Dede Rosyada.
Namun, sebelum melakukan tindakan tegas terhadap para mahasiswa yang tergabung di HTI, tentu ada tindakan akademisnya. Jika ada yang berani dan ketahuan secara terang-terangan mengibarkan bendera HTI dan organisasi jihad terkait dengan ISIS, pihaknya mengancam tidak akan ragu mengeluarkan sanksi tegas. Itulah yang terjadi pada salah seorang dosen wanita disalah satu fakultas di UIN.
“Dosen tersebut memakai cadar dan tidak mau melepas saat mengajar, akhirnya dipecat. Kalau dosen melakukan hal seperti itu dan kelihatan, akan kita panggil dan beri teguran. Kalau masih seperti itu akan kita keluarkan, ada juga dosen yang pernah kita keluarkan,” katanya.
Dede menjelaskan, dosen wanita itu diduga berafiliasi dengan gerakan extrimist. Saat dilakukan pemanggilan terhadap dosen itu dan telah diberi peringatan, dosen tersebut tetap bersikeras dengan yang diyakininya. “Kita sudah meminta kepada dosen itu untuk memilih mengajar di kampus UIN, atau organisasinya tetapi dia memilih organisasinya, dan dia memilih keluar dari UIN,” jelasnya.
Menurut aturan kampus, dosen wanita tidak boleh menggunakan cadar saat mengajar. Kepada dosen yang telah dikeluarkan itu, Dede mengaku telah memberikan pilihan yang demokratis. Karena yang bersangkutan tetap pada pendiriannya, pihak kampus lalu mengambil langkah tegas dengan memecatnya. Sedang untuk dosen pria, Dede mengaku pebih sulit bentuk pengawasannya.
Apalagi banyak dosen UIN yang memiliki penampilan sama, mulai dari celana conkrang, hingga memelihara jenggot. Selama tidak ada laporan tentang aktivitas dosen tersebut, pihaknya belum memberi teguran. Begitupun dengan dosen yang terkait dengan HTI, dan organisasi radikal lainnya, pihaknya tidak punya data. Alhasil, pengawasan yang dilakukan pihak kampus dirasakan masih sangat lemah sekali.