Tanamkan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Aktivitas Sehari-Hari, Bukan
Terkungkung di Ruang Formal

Yogyakarta – Forum Pendidikan Kebangsaan dan Pancasila (FPKP) memiliki
misi mulia untuk mentransformasikan pemahaman Pancasila dari sekadar
hafalan menjadi aplikasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Pelaksana FPKP, Yoeke Indra Agung
Laksana, dalam acara di Gedung PPSDM, Baciro, Kota Yogyakarta, Sabtu
(22/6/2024).Yoeke menekankan bahwa pemahaman Pancasila tidak harus
terkungkung dalam ruang formal seperti kelas atau seminar. Justru,
menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam aktivitas sehari-hari, seperti
gotong royong atau membantu sesama, jauh lebih efektif dan mengakar.

“Pancasila selama ini lebih banyak diberikan dalam tatanan formal,
tetapi sebenarnya harus dinarasikan dalam kegiatan yang sederhana,”
jelas Yoeke.

Yoeke menjelaskan bahwa Pancasila adalah benteng bangsa Indonesia dari
berbagai ideologi yang berusaha memecah belah.

Dengan memahami dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat, terutama generasi muda, akan memiliki ketahanan dan
benteng diri terhadap ideologi asing yang berbahaya.

“Satu-satunya jalan untuk menjajah bangsa Indonesia adalah dengan
merusak tatanan hidup masyarakat dan mendeskreditkan Pancasila,” ujar
Yoeke.

Salah satu strategi FPKP adalah dengan melibatkan berbagai elemen
masyarakat, termasuk ibu-ibu PKK, Posyandu dan komunitas pemuda.

Melalui kegiatan dan edukasi yang dikemas secara menarik dan mudah
dipahami, FPKP ingin menjadikan mereka agen-agen baru yang mencintai
dan menjaga Pancasila.

Contohnya, kegiatan gotong royong dapat dinarasikan sebagai pengamalan
sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan.

Atau, gotong royong memperbaiki gorong-gorong rusak dapat dinarasikan
sebagai pengamalan sila ketiga, yaitu persatuan Indonesia.

Sementara itu, Mantan Bupati Bantul, Idham Samawi, melontarkan
pernyataan menarik mengenai keberagaman Indonesia.

Ia mengamati bahwa meskipun Indonesia memiliki suku dan budaya yang
jauh lebih beragam dibandingkan Yugoslavia dan Uni Soviet, Indonesia
justru mampu tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

Pernyataan Idham Samawi ini tentu menarik untuk direnungkan. Di satu
sisi, Yugoslavia dan Uni Soviet, dengan keragaman suku dan budayanya
yang lebih sedikit, justru mengalami disintegrasi dan pecah belah.

Di sisi lain, Indonesia, dengan kekayaan budayanya yang luar biasa,
mampu bertahan sebagai satu bangsa yang utuh. Menurut Idham Samawi,
kunci pemersatu Indonesia adalah Pancasila.

Pancasila, dengan nilai-nilainya yang menjunjung tinggi Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, menjadi
landasan kokoh bagi bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan dalam
harmoni.

Nilai-nilai Pancasila ini, seperti toleransi, gotong royong, dan
musyawarah mufakat, telah diwariskan dan diamalkan oleh nenek moyang
bangsa Indonesia sejak lama.

Nilai-nilai ini pula yang menjadi pembeda dengan Yugoslavia dan Uni
Soviet, yang pada masanya tidak memiliki dasar ideologi yang sekuat
Pancasila.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Yogyakarta,
Nindyo Dewanto, menambahkan bahwa Pancasila bukan hanya ideologi,
tetapi juga falsafah hidup yang menggambarkan semangat kebersamaan,
persatuan, dan kesatuan bangsa.

“Menanamkan kesadaran berbangsa dan bertanah air Indonesia merupakan
bagian dari pendidikan berkarakter. Setiap anggota masyarakat
diharapkan memiliki jiwa yang mencintai Republik Indonesia yang
harmonis dan demokratis,” jelas Nindyo.

FPKP menyadari bahwa mentransformasi pemahaman Pancasila bukanlah perkara mudah.

Di era globalisasi dan arus informasi yang deras, banyak ideologi baru
dan gerakan separatis yang dapat menggerus nilai-nilai Pancasila.
Namun, FPKP optimis dengan peran aktif masyarakat dan generasi muda
dalam menjaga dan mengamalkan Pancasila.