Seperti penulis uraikan terdahulu terorisme itu ibarat singa yang sedang tidur. Dia akan bangun apabila ada objek merangsang yang dijadikan pemicu. Masih dalam uraian terdahulu, penulis mengibaratkan teroris laksana seekor anak kelinci yang lewat di depan singa yang sedang tidur. Terbukti sudah, belum seminggu tulisan itu dimuat di media internal ternyata singa itu telah mencoba untuk bangun. Rentetan kejadian dari Lapas Cabang Salemba di Komplek Mako Brimob dilanjutkan dengan kejadian beruntun di Surabaya, Sidoarjo dan Riau menjadi bukti singa itu mulai bergeliat.
Tidaklah berlebihan bila penulis juga ingin mengatakan bahwa radikalisme adalah induk terorisme, yang hidup laksana cendawan dalam jerami. Tergantung musim. Sekarang cendawan-cendawan itu sudah bergerak dan siap tumbuh. Dalam komunitas besar cendawan akan berebutan untuk mengeluarkan akar. Bila populasi cendawannya banyak, maka akarnya akan saling berebutan mencari jerami yang basah. Sebaliknya bila cendawannya sedikit namun jeraminya banyak dia akan subur dan kuat. Sekarang cendawan itu ada, karena sel hidupnya telah banyak yang mati, namun ada hujan datang. Akibatnya dia mengeluarkan akar. Itulah situasi di Lapas Cabang Salemba Kelapa Dua beberapa waktu lalu.
Terbangun Setelah Hibernasi
Sungguh sangat mengagetkan kita. Saat serangan terorisme di dalam negeri nyaris tidak terdengar, tiba-tiba kita dipertontonkan dengan berita di mana lima anggota polri penjaga lapas harus meregang nyawa dalam suasana penyanderaan (hostage situation) dalam penjara yang menegangkan yang dilakukan oleh beberapa narapidana terorisme. Seorang polwan penyidik anti terorpun dianiaya. Proses negosiasi melelahkan pun terjadi. Napi teroris bertahan. Isolasi tempat kejadian perkara dilakukan dengan ketat. Parimeter pengamanan ditambah sampai ke jalan jend M. Jasin dengan memasang barikade kawat berduri yang dijaga ketat polisi bersenjata.
Suasanapun mencekam. Terorisme kembali bergerak. Dia mulai mencoba bangun dari tidur dan hibernasinya di dalam lembaga pemasyrakatan. Kelompok teror sepertinya tengah mencari momentum. Persoalan makanan bawaan saat besuk, ketatnya pengawasan keluarga, hanyalah sebagai alasan yang dapat dijadikan pemicu. Bahkan sudah lama, pelemparan berbagai isu dan hoaks tentang penjaga lapas yang membanting Al Quran serta pelarangan sholat hendak dijadikan pemicu, namun selalu gagal.
Seiring dengan situasi hibernasi itu, upaya-upaya pendekatan lunak, deradikalisasi, kontra radikalisasi, dan kontra narasi di luar lapas secara masif dilakukan oleh pemerintah. Sulit sekali bagi jaringan di luar lapas ingin bermain kembali seperti masa kejayaan Jamaah Islamiyah ( JI ) dulu. Selain pengusaan tehnik yang lemah juga belum ditemukan Amir yang kuat dan kharismatik seperti JI dulu. Tidak satupun dokumen tentang tehnik perlawanan yang cukup signifikan ditemukan. Dulu ada guideline Al jamaah Al Islamia atau PUPJI.
Secara global organisasi yang kuat seperti ISIS juga harus tumbang. Upaya mendirikan daulah globalpun gagal total. Pendirian walayat-walayat lintas negarapun juga gagal. Begitu pula persoalan proses rekrutmen. Selain melaui media sosial, tidak lagi ditemukan cara rekrutmen yang lebih manjur. Konflik agama yang sejatinya dapat dijadikan pemicu tidak terjadi. Terjadilah proses hibernasi total pada berbagai jaringan sambil menunggu moment yang paling pas untuk bangkit.
Peristiwa adalah sebuah kesempatan atau momentum untuk bangkit. Akankah mereka berhasil? Sangatlah tergantung respon publik serta kemasan media. Kala ada tokoh yang mampu diglorifikasi menjadi simbol pemersatu, maka terorisme akan terus merangkak bangun. Manakala pemberitaan mampu dipabrikasi oleh media dan sosial media, dan masyarakat mengalami dampak ketakutan, maka terorisme akan terus bangun dan siap menyerang. Tapi yang jelas saat ini terorisme telah mencoba bangun dari tiarapnya. Dia menjadikan konflik penjara untuk memancing singa-singa lain untuk ikut melakukan hal yang sama dengan didukung oleh sel-sel di luar penjara. Mampukah mereka?
Mencegah Penjara sebagai Sekolah Terorisme
Lembaga pemasyarakat adalah tempat seseorang menjalani tanggungjawab hukum atas perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Penjara adalah tempat untuk membuat pelaku pidana menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Selain tempat menjalani hukuman penjara diharapkan sebagai tempat bagi proses sosialisasi dan penyadaran atas kekeliruan perbuatan pada masa lalu.
Tentu tidak boleh dilupakan juga bahwa di penjara telah terjadi proses interaksi sosial yang sangat ketat antar napi. Para napi yang merasa senasib dan sepenanggungan memiliki perasaan penderitaan dan duka yang sama. Mereka bisa berbagi pengalaman yang sama tentang hal yang membuat mereka dikurung di tempat yang sama. Situasi dan interaksi itu bisa terjadi bertahun tahun. Bisa dibayangkan, seorang narapidana yang dihukum lima tahun, maka selama itu pula interaksi sesama napi terjadi. Semakin berat hukuman, semakin banyak hubungan sosial dan interaksi terjadi. Makanya, jangan heran apabila dipenjara lahir clan–clan pemimpin dan tokoh penjahat yang cukup karismatik.
Bagi napi narkotika yang di luar memiliki banyak anak buah dan teman di luar penjara, memiliki uang yang cukup, dia akan dengan mudah mendapatkan pengikut. Napi yang hukumannya lebih ringan begitu bebas bahkan bisa menjadi pengikut pengedar jaringan. Saat sama-sama selesai menjalani hukuman dengan masa hukuman yang sama, di luar mereka akan kembali menjalin komunikasi. Terbentuklah jaringan bisnis baru yang lebih menggairahkan.
Hal yang sama berlaku dalam kasus terorisme. Bisa jadi seorang mantan pencopet kemudian bergabung dengan jaringan terorisme. Atau yang saat ditangkap hanya simpatisan, namun begitu keluar dia menjadi pemimpin pada wakalah. Penjara dijadikan ajang belajar dari seniornya yang mendapat hukuman yang lebih lama. Ada yang mengatakan penjara adalah sekolah kejahatan yang terbaik. Sekolah terorisme terbaik.
Mengapa? Di penjara berbagai pengalaman praktis bisa didapat secara gratis. Di tempat ini pula orang yang sama-sama merasa menderita dapat bertemu. Di penjaralah tempat perasaan empati dan perasaan simpati tumbuh. Di penjaralah sesama pelaku kejahatan membangun komunikasi persaudaraan dan perasaan in group tumbuh. Di penjaralah tempat melahirkan konsep thogut sebagai musuh bersama. Penjara bagi yang berbakat untuk menjadi penjahat ulung adalah sekolah yang paling sempurna.
Melihat dan belajar dari kasus napi terorisme di Lapas Kelapa dua, maka ada beberapa pemikiran sederhana yang ingin sampaikan. Pertama; hak asasi napi terorisme haruslah tetap dijunjung tinggi seperti hak dibezuk, memperoleh pelayanan kesehatan, beribadah, olah raga dll. Kedua; penegakan aturan di dalam penjara harus dilakukan dengan strik dan kaku sebagaimana SOP yang ada. Tidak boleh ada penyimpangan dari aturan yang tergelar. Ketiga; pertegas larangan termasuk larangan membawa alat komunikasi juga harus benar-benar diterapkan. Keempat; system pengamanan, monitoring, identifikasi wajah harus tergelar baik. Kelima ; ruang penyidikan harus terpisah dengan blok dan lorong blok. Keenam; ruang barang bukti dan berkas perkara harus terpisah dan benar- benar aman dengan sistem backing up yang modern dan akurat. Ketujuh; program konseling dan identifikasi terhadap tingkat radikalisme hendaknya dilakukan sejak pelaku terorisme ditangkap, disidik, dituntut, diadili dan saat dipenjara. Yang nyata-nyata hardcore harus segera dipisahkan dengan napi yang lain. Kedelapan; program deradikalisasi harus mulai bermain di level penyidikan sampai pasca bebas dari penjara. Berbagai langkah tersebut harus dijalankan dengan konsisten dengan maksud agar penjara tidak lagi dijadikan ajang sekolah terorisme.
Prestasi Global Harus Dipertahankan.
Saat ini di mata dunia, Indonesia dalam penanganan kontra terorisme dianggap unggul. Indonesia bahkan telah meratifikasi delapan konvensi PBB. Dalam konteks konsultasi sampai tahun 2018 ini Indonesia masih tercatat sebagai Dewan Penasehat Counter terorism center atau CTC. Indinesia juga merupakan satu-satunya negara yang mampu menggagalkan rencana pembentukan walayat atau provinsi ISIS (di Poso).
Indonesia juga ikut dalam gugus tugas CTITF ( UN counter terrorism Implementation task force ), dalam TPB-UNODC ( terrorism prevention branch UN counter terrorism excecutive derectorate ), serta aktif menerapkan 4 pilar UNGTS ( UN Counter Terrorism Strategy ). Indonesia juga menyiapkan kapasitas aparat penanganan terorisme dunia melalui JCLEC yang berditi tahun 2004 dan telah menelorkan 768 program dengan 18.398 peserta dari 70 negara yang telah melahirkan 4.385 pelatih. Bangsa ini juga telah sangat aktif dalam GCTF (global counter terrorism forum ) sebagai co chair SEAWG ( Southeast asia capacity building group ) tahun 2011-2013.
BNPT sebagai lembaga leading sector dlam penanganan terorisme telah berhasil dalam beberapa hal. Pertama, Indonesia juga sebagai salah satu negara yang telah berhasil melakukan rekonsiliasi mempertemukan mantan teroris eks binaan dengan korbannya. Kedua, mengembalikan dan menjemput eks ISIS yang terdiri dari anak-anak dan lelaki dewasa yang merupakan korban janji-janji palsu dan propaganda ISIS. Ketiga, aktif bergabung sebagai anggota APG-ML (Asia pacific on money lounderjng) serta bersama PPATK membentuk MoU dengan FIU ( funancial Inteligent Unit ). Keempat, Indonesia melalui BNPT menjadi co-sponcor Dewan keamanan PBB 2178 tahun tentang FTF dengan membentuk Satgas untuk mencegah rekrutmen dan fasilitasi keberangkatan FTF.
Kelima, Indonesia berhasil membangun pesantren dan tempat pendidikan agama yang dipimpin mantan pemimpin sentral terorisme masa lalu di Tenggulun, Lamongan dan Sungai Mencirim, Medan. Keenam, Indonesia tengah berupaya bergabung menjadi anggota tetap FATF. Ketujuh, Indonesia tengah menyusun konsep Perpres tentang ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme atau Ran PE termasuk CVE . Kedelapan, terkait Rezim pencucian Uang PPATK dan BNPT telah menyusun White paper. Kesembilan, berbagai kuliah umum kontra radikalisme dan wawasan kebangsaan telah dilakukan oleh kepala BNPT. Kesepuluh, pendekatan soft approach dilakukan secara masif, simultan dan terus menerus hampir di seluruh lapas teroris di Indonesia.
Kiranya kasus kerusuhan lapas Kelapa Dua yang lalu dan berbagai aksi rentenan yang menyertainya dapat kita jadikan pelajaran bahwa terorisme senantiasa menjadi pemicu. Jangan pernah memberikan kesempatan kepada teroris dalam lapas untuk menjadikan lapas sebagai sarana sekolah terorisme. Kewaspadaan dan penerapan SOP lapas yang ketat menjadi bagian terpenting di samping penegakan hukum dan pendekatan lunak yang dilaksanakan paralel dan simultan.
Terorisme tidak akan pernah berhenti. Sepinya gerakan dan aksi terorisme bukan berarti menunjukkan matinya geliat terorisme. Hibernasi adalah teori dalam memahami gerakan terorisme. Dan saat ini jaringan itu mulai kembali bergeliat. Walaupun demikian, bangsa ini sudah pengalaman dan cekatan. Mempertahankan prestasi bangsa dalam menanggulangi terorisme adalah persoalan terpenting bagi bangsa saat ini.
Semoga bermanfaat