Baghdad – Sejumlah roket menghantam kedutaan besar Amerika Serikat (AS) di ibu kota Irak pada Selasa (19/5). Ledakan itu terdengar hingga ke seluruh kota dan memicu sirene keamanan di kompleks kedutaan besar AS berbunyi.
Sumber keamanan mengatakan kepada AFP, serangan roket di zona keamanan tinggi ini merupakan yang pertama dalam beberapa pekan. Meski demikian dilaporkan tidak ada korban dalam insiden tersebut. Juga belum ada pihak yang mengklaim.
Hantaman roket itu menambah daftar panjang serangan yang menyasar kepentingan AS di Irak sejak Oktober tahun lalu. Akan tetapi tidak ada satupun pihak yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
AS menuduh kelompok Hashsha al-Shaabi berada di balik serangkaian serangan roket ke kedutaan besar AS di Baghdad dan pangkalan yang menampung pasukan mereka.
Hashsha al-Shaabi merupakan kelompok yang didukung Iran, yakni jaringan militer yang secara resmi dimasukkan ke dalam pasukan keamanan negara Irak.
Serangan roket yang turut menewaskan personel bersenjata AS, Inggris dan Irak itu berdampak buruk pada hubungan antara Baghdad dan Washington.
Ketegangan kian memanas pada Januari lalu ketika AS membunuh jenderal Iran Qasem Soleimani dan komandan Irak Abu Mahdi al-Muhandis dalam serangan pesawat tak berawak.
Namun baik AS maupun Irak berharap dapat memperbaiki hubungan sejak Perdana Menteri Mustafa al-Kadhemi mengambil alih kepemimpinan awal bulan ini. Rencananya mereka akan melakukan pembicaraan bilateral pada Juni mendatang.
Negosiasi diharapkan dapat menghasilkan kerangka kerja untuk kehadiran pasukan AS, yang telah dikerahkan ke Irak pada 2014 untuk memimpin koalisi melawan kelompok ISIS.
Akan tetapi kehadiran pasukan AS ditentang oleh Iran dan sekutunya. Mereka bersikeras agar pasukan AS segera meninggalkan negara itu.
Pada hari Minggu, Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan bahwa AS akan diusir dari Irak dan Suriah. Khamenei meyakini AS tidak akan tinggal lama di Irak atau Suriah.
Koalisi pimpinan-AS telah menarik pasukan berkekuatan 7.500 orang di Irak tahun ini, setelah menganggap ancaman yang menurun dari ISIS dan kesulitan melatih pasukan Irak karena penyebaran virus corona.