Mataram – Dalam rangka memperkuat upaya pencegahan terhadap tiga dosa
besar dunia pendidikan yakni perundungan (bullying), kekerasan, dan
intoleransi, program Sekolah Damai yang digagas oleh BNPT terus
digalakkan. Bertempat di SMAN 5 Mataram, acara ini melibatkan 100
tenaga pendidik dari SMA, MA dan sederajat se-kota Mataram, NTB.
Kegiatan yang dillaksanakan dalam dua segmen ini yaitu workshop guru
dan murid ini menitikberatkan pada peran masyarakat sekolah dalam
menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi peserta didik serta
memberikan solusi berkelanjutan dalam konteks pendidikan.
Dosen UIN Mataram, Rias Pratiwi Safitri, S.Psi., M.Psi., menjelaskan
bahwa “tiga dosa pendidikan”—perundungan, intoleransi, dan
kekerasan—merupakan tantangan besar di dunia pendidikan.
“Perundungan atau bullying, intoleransi, dan kekerasan adalah masalah
yang berdampak besar pada perkembangan psikologis peserta didik,”
tegas Rias, Kamis (10/10/2024).
Menurutnya, dampak psikologis yang timbul dari tiga permasalahan pokok
ini bisa sangat traumatis bagi siswa. Karena itu, pendekatan yang
digunakan untuk menangani masalah ini harus sesuai dengan kebutuhan
psikologis di setiap tahapan usia.
Selain kecerdasan intelektual, Rias juga menekankan pentingnya
kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial. Kecerdasan emosional
membantu siswa untuk mengelola perasaan mereka, sedangkan kecerdasan
spiritual mengajarkan mereka untuk berperilaku baik terhadap orang
lain dan menjunjung toleransi.
“Kecerdasan sosial memungkinkan mereka untuk membangun hubungan yang
sehat dan penuh pengertian dengan orang-orang di sekitar mereka,”
tambahnya.
Dalam upaya mencegah sikap intoleran dan perilaku kekerasan, Rias
mengungkapkan bahwa keluarga juga memainkan peran penting dalam
memberikan pendidikan sejak dini. Ia menyebut pentingnya edukasi di
dalam keluarga, seperti menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan
partisipasi dalam kegiatan sosial baik di lingkungan rumah maupun
sekolah.
“Dengan melibatkan anak atau siswa kedalam kegiatan-kegiatan sosial
yang positif, kita dapat meminimalisir munculnya sikap intoleran yang
dapat berkembang menjadi radikalisme,” jelasnya.
Peran keluarga dan sekolah dalam menciptakan lingkungan pendidikan
yang damai dan inklusif dinilai sangat krusial. Keluarga sebagai
fondasi pertama bagi anak, diharapkan mampu memberikan pengajaran
tentang nilai-nilai moral dan sosial yang kuat. Sekolah sebagai rumah
kedua harus memastikan bahwa peserta didik merasa aman dan nyaman saat
berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir Staff Ahli BNPT Prof. (HC) H.
Suaib Tahir, Ph.D., yang memaparkan salah satu tantangan terbesar
dalam masyarakat saat ini adalah penyebaran narasi ekstremisme melalui
media sosial yang dapat mempengaruhi siswa.
“Ekstremisme sering kali muncul karena adanya keterbatasan
pengetahuan, pengaruh lingkungan, dan keluarga yang kurang
memperhatikan perkembangan sosial anak,” ujar Suaib.
Karena itu, Suaib menekankan pentingnya peran sekolah dalam mencegah
fenomena radikalisme dan intoleransi berkembang di kalangan siswa.
“Sekolah harus memainkan peran penting dalam mengedukasi siswa
tentang bahaya radikalisme dan mengajarkan mereka nilai-nilai inklusif
melalui dialog dan diskusi,” lanjutnya.
Salah satu cara efektif untuk mencegah siswa dari paparan radikalisme
adalah dengan memastikan bahwa pengajian atau aktivitas keagamaan yang
diikuti siswa adalah yang moderat dan membawa nilai-nilai inklusif.
Menurut Prof. Suaib, terdapat beberapa pola yang umum terjadi di
kalangan anak-anak yang mulai terpapar radikalisme. Beberapa anak
mungkin hanya menjadi “pendukung pasif” yang mengikuti narasi jihad di
media sosial saat ada konflik. Namun, beberapa lainnya bisa menjadi
“pendukung aktif” yang dengan sengaja menyukai atau menyebarkan konten
radikal secara berkelanjutan. Yang paling berbahaya adalah “pendukung
masif”, yang membuat dan membagikan konten radikal kepada khalayak
luas.
Untuk mencegah hal tersebut, Suaib menegaskan pentingnya memberikan
pemahaman yang benar kepada siswa tentang nilai-nilai keagamaan yang
moderat serta membangun semangat dialog yang inklusif.
“Dengan demikian, siswa tidak hanya akan terhindar dari paparan
radikalisme, tetapi juga memiliki kemampuan untuk berdiskusi dan
berdebat secara sehat,” tandasnya.