Pada saat menghadiri dan ditunjuk menjadi pembicara pada kegiatan seminar Counter terrorism conference 2017 yang diadakan oleh India Foundation di Delhi pertengahan Maret 2017 lalu, penulis dikejutkan dengan suatu pertanyaan oleh seorang expert dari Jepang yang hadir pada kegiatan tersebut. Ia seolah menguji tanggapan penulis terkait jati diri Prof Dr Hasan ko Nakata dan keterlibatannya dengan ISIS.
Pertanyaan itu sebetulnya bisa dikatakan mudah-mudah susah. Terlebih dalam pada awal presentasi dalam kegiatan tersebut, penulis sudah menyatakan dengan tegas sebagai seorang praktisi dalam penanggulangan terorisme. Penulis kemudian bercerita banyak hal terkait sejarah penanganan terorisme dari masa ke masa di Indonesia mulai dari kasus-kasus besar pada masa lalu seperti kasus penyerangan Presiden dengan roket yang diluncurkan dengan pesawat MIG-17 oleh Daniel Alexander Maukar pada 9 Maret1960, penyerangan presiden RI soekarno tahun 1957, dan pembajakan pesawat GA Woyla tahun 1981.
Masih dalam kasus teror besar di masa lalu, Penulis juga menguraikan betapa teroris asing pernah menyerang 4 fasilitas perwakilan asing dalam 1 paket. Serangan itu dilakukan oleh teroris asing Jepang Tsutomo shiroshaki, anggota Tentara Merah (Red Army) Jepang, pada 14 Mei 1986 daŕi kamar Hotel President (kini Pullman Hotel) yang berhadapan langsung dengan kedutaan Jepang Jakarta. Berlanjut pada era reformasi, kasus teror semakin meningkat yang ditandai dengan kejadian tragis dalam sejarah teror di Indonesia yakni kasus bom bali I dan II 2002 dan 2005 serta kasus terorisme setelahnya.
Menanggapi paparan penulis, Profesor asal Jepang ini menyampaikan bahwa penulis piawai sekali merangkaikan cerita sejarah terorisme di Indonesia, sehingga dia sampai pada satu kesimpulan bahwa sebetulnya “deradikalisasi” Indonesia selama ini sudah sangat baik. Ia berargumen bahwa kejadian teror dari waktu ke waktu di indonesia semakin mengalami penurunan baik pada aspek kuantitas maupun kualitas. Konklusi ini didasarkan pada perbandingan aksi teror dari masa ke masa dari mulai percobaan penyerangan terhadap Presiden dengan roket di istana, penyerangan secara fisik closed target di Cikini, pembajakan yang waktu itu baru hanya terjadi di Dacca dan Don Muang woyla oleh teroris Indonesia, penyerangan secara masif 4 perwakilan asing di Indonesia, hingga bom Bali oleh al-Jamaah al-Islamiah (JI). Apalagi menjadi kentara apabila membandingkan kasus teror lama dengan kasus terkini semisal dengan bom panci beberapa waktu lalu. Intinya, ada penurunan mulai dari keahlian dan proses organisasi penyerangan hingga melemahnya kualitas ideologi yang ditunjukkan dengan keragu-raguan teroris untuk memperoleh kematian dengan bom bunuh diri.
Kembali pada pertanyaan yang menantang dari Professor Jepang tersebut, untuk menjawab pertanyaannya, penulis mencoba memahami siapa dan apa peran Prof Dr. Hasan Ko Nakata ini. Di tanah air namanya pernah mencuat ketika menghadiri dan menjadi salah satu pembicara di salah satu kegiatan Konferensi Khilafah Internasional pada tahun 2007 silam di Jakarta. Namanya semakin menimbulkan kontroversi ketika ada informasi bergabung dengan ISIS. Lalu siapa Prof Dr. Hasan Ko Nakata?
Memahami Sang mualaf dan Konsepsinya
Dari berbagai sumber informasi dipahami bahwa sejatinya Prof Dr. Hasan Ko Nakata masuk Islam pada tahun 1979, yaitu setelah mempelajari Bibel dan mencoba membandingkan sejarah berbagai agama seperti ; Kristen, Judaisme, Budha, Shinto dan berbagai agama lain. Apa yang membuat dia semakin ingin tahu lebih dalam khusus tentang Islam yang dia anggap sangat berbeda dengan tata cara kehidupan orang Jepang. Dia semakin tertarik dengan Islam.
Setelah pendidikan S1, ia sangat ingin mempelajari Islam secara mendalam. Saat Universitas Tokyo membuka program master tentang kajian Islam dia bergabung. Akhirnya dia menjadi mahasiswa muslim pertama sekaligus yang terakhir di jurusan Islamic Studies di Universitas Tokyo. Persis tahun ke 3 di Fakultas Studi Islam Universitas Tokyo, dia memutuskan untuk bersahadat dan masuk Islam dan mengadopsi nama Islam “Hassan” di depan namanya. Ia menyelesaikan program doktoralnya di bidang Filsafat Islam di Universitas Kairo pada tahun 1992-1996 dengan topik diesertasi Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah (al-Fikratu al-Siyasatu inda Ibni Taymiyah).
Sambil mengajar bidang kajian Islam di Universitas Doshisha, Kyoto dia menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang. Selama 4 tahun menjadi guru besar di situ, dia mampu meyakinkan dan mengajak mahasiswanya untuk meyakini islam. Salah satu keberhasilannya adalah ada 4 mahasiswa atheis yang kemudian menjadi mualaf.
Dia adalah pakar ilmu politik dan syariah. Untuk senantiasa menyegarkan praktek dan pengetahuan tentang Islam serta sarana dakwah di Jepang dia menerbitkan bulletin dan majalah bulanan yang didistribusikan secara gratis kepada muslim Jepang sebagai media indormasi dan komunikasi komunitas muslim Jepang. Professor ini juga dikenal sangat produktif dalam aspek keilmuan keislaman. Ada beberapa teks akademis yang merupakan karyanya dan banyak dibaca di Jepang antara lain; walayat al faqih, Sovereignty and Constitution; Political Theories in Post-khoimeini Iran ( 2000), The Interplay between Islam in Civilization; The Case of East Asia ( 2002) dan The Concept of Khilafah; Spreading the Rule of Law All Over The World ( 2010 ). Untuk lebih meyakinkan dakwah dan pengaruh ke islaman terhadap komunitas muslim di Jepang, dia juga menerjemahkan beberapa kitab konvensional seperti tafsir al-jalalain, al-siyasah al-syariyyah ibnu taimiyyah, zad al-mustaqni-al-hujawi al hanbali dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti banyak orang.
ISIS dan Khilafah dalam Pandangan Sang Profesor
Melihat dari berbagai kegiatan dan berbagai literatur serta berita di media banyak sekali pertanyaan yang disampaikan dan dilontarkan tentang adakah keterlibatan sang professor dengan jaringan teroris ISIS? Penulis melihat ada beberapa hal yang sangat menarik. Dalam beberapa artikel di media sosial banyak ditemukan foto-fotonya dan yang paling kontroversial adalah foto dengan senjatayang sedang berdiri dengan simbol ISIS.
Namun hal itu terjawab dalam kegiatan Studium General yang bertemakan ” The Suffered Moslem World, Middle East Current Situation and its Future” di kampus Sekolah Tinggi Ekonomi Islam ( STIE ) Hamfara Yogyakarta tanggal 9 November 2015. Dalam paparannya, secara langsung Sang Profesor menjelaskan beliau tidaklah bergabung dengan ISIS. Dalam pertemuan tersebut ia menjelaskan tentang Revolusi Iran atas nama Islam, konflik negara negar Arab dalam 5 tahun terakhir, hingg kemunculan ISIS. Menurutnya ada perbedaan antara mujahidin sunni dan syiah yang menurutnya lebih kuat karena Syiah mempunyai konsep wilayatul faqiih, sementara sunni lemah karena tidak ada khilafah. Perjuangan khilafah dilakukan dengan cara belajar siyasah syar’iyyah dan siyasah internasional atau mempelajari politik Islam dan kaitannya dengan politik internasional.
Yang tak kalah menariknya sang profesor ternyata pernah mengunjungi daerah ISIS, namun tidak pernah bertemu al-Bagdadi. Dia meninggalkan catatan terkait ISIS dan memesankan bahwa ISIS tidak sesuai dengan Bai’atnya Khalifah Abu Bakar Ash-shidiq radhiyallahu’anhu yaitu bai’at in’iqad dan taat. Sang profesor belum yakin tentang al-Baghdadi sementara istilah khilafah sudah mendunia.
Dalam konteks penelusuran tersebut, penulis melihat bahwa sang professor memiliki keinginan kuat dalam membedah Islam. Konsepsinya tentang politik Islam terutama keinginannya dalam memperjuangkan khilafah Islam menjadi poin utama yang mendekatkan gagasannya dengan ISIS. Namun, memang diakuinya bahwa ia tidak berbaiat kepada al-Baghdadi dan mengakui ISIS tidak sesuai dengan konsepsi khilafah.
Penulis melihat semakin dalam kajian sang profesor, akan semakin kontroversial bila dibarengi dengan foto dan simbol-simbol ISIS tersebut. Secara subtantif, kedekatan kajiannya dalam politik Islam memang telah menyampaikan pada kesimpulan butuhnya khilafah dalam Islam. Namun, ia masih mempelajari dan menolak konsepsi khilafah yang diklaim ISIS. Selain pernah berkunjung di daerah ISIS dan memiliki kontak dengan beberapa orang di Suriah-Irak menjadi wajar gagasan itu telah banyak menyeret dirinya dalam klaim telah bergabung dengan ISIS. Namun, semoga amalan yang baik, mendapat balasan kebaikan. Semoga Prof Dr. Hasan Ko Nakata bukan bagian dari teroris ISIS.