Radikalisme menjadi momok yang menakutkan lantaran ancamannya yang begitu besar terhadap persatuan dan kewarasan masyarakat. Meski tidak langsung terhubung dengan terorisme, radikalisme ‘menyumbang’ banyak aspek untuk tumbuh dan kembang terorisme. Karenanya, upaya terbaik yang bisa dilakukan untuk menjegal terorisme ialah dengan pertama-tama mambabat sisi radikalismenya. Hal inilah yang melatari pemerintah Indonesia –melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)—untuk menggalakkan program deradikalisasi, yakni sebuah program kerja yang dimaksudkan untuk menjegal terorisme dari bibit awalnya; radikalisme.
Dalam prakteknya, program ini berjalan dengan cukup baik. Bahkan beberapa negara sahabat menjadikan Indonesia sebagai negara percontohan untuk kesuksesan upaya FAT (fighting against terrorism) dengan menempatkan deradikalisasi sebagai sumbu utamanya. Indonesia pun telah beberapa kali menerima delegasi dari banyak Negara, seperti Inggris dan Rusia, yang datang ke untuk belajar cara penanganan terorisme yang bukan saja efektif, tetapi juga aplikatif.
Meski begitu, di balik gemerlap kesuksesan program Deradikalisasi, terselip sejumlah persoalan yang memerlukan penyelesaian, salah satunya adalah sistem deradikalisasi di dalam lapas (lembaga pemasyarakatan). Terdapat setidaknya empat (40) masalah klasik terkait penempatan napi terorisme di dalam lapas. Pertama, over-capacity. Lapas masih sering ‘kelebihan muatan’ dengan adanya napi terorisme yang jumlahnya memang tidak sedikit. Hal ini, jika tidak diatasi secara serius, bisa mengakibatkan masalah baru.
Kedua, radikalisasi masih tetap terjadi meski para napi telah berada di balik jeruji besi. Proses radikalisasi di dalam lapas umumnya terjadi melalui peran napi terorisme yang menyebarkan paham radikal ke penghuni lapas yang lain. Mereka adalah para pelaku kejahatan yang dijejali paham-paham radikal. Di tengah kegalauan dan seabrek penyesalan akibat perbuatan jahat yang telah mereka lakukan, para tahanan menjadi sangat rentan termakan ajaran radikal. Dalam beberapa kasus bahkan ditemukan sipir penjara yang ikut terpengaruh menjadi radikal sambil meyakini bahwa pendirian Negara Khilafah merupakan sebuah kewajiban (Dusak, 2016), ironis!
Masalah ketiga adalah lalu-lintas radikalisasi dari luar penjara, ini umumnya terjadi pada jam-jam besuk tahanan. Para tahanan yang mulai ragu dengan paham radikal yang mereka pegang teguh ‘dikuatkan’ kembali oleh para pambesuk (biasanya keluarga, teman dekat, atau bahkan teman sekelompok). Sementara masalah terakhir, dan ini yang paling sulit, adalah perihal penyiapan dan pengawasan kepada eks tahanan kasus terorisme ketika mereka selesai menjalani masa hukuman dan kembali ke masyarakat.
Empat masalah di atas tentu sangat sulit untuk diatasi dengan segera, terlebih karena bagi sebagian orang, radikalisme telah masuk kedalam kepala dan hati mereka, sehingga apapun yang terjadi – termasuk pemisahan blok ruang tahanan— tidak akan bisa mengubah keyakinan para napi dengan mudah. Hal ini diperkuat dengan temua internal BNPT yang menunjukan bahwa tendensi para napi untuk kembali ke kelompok radikal masih sangat tinggi. Artinya, para napi terorisme tersebut masih memiliki harapan dan kecenderungan untuk kembali ke kelompok lamanya; kelompok yang menginjak-nginjak prinsip dasar agama dan negara.
Mirko Bagaric (2001) menyebut sistem peradilan kita masih sangat lambat dan kaku. Hal ini disebutnya menjadi sebab tidak efektifnya sanksi pidana untuk pelaku kejahatan. Baginya, sanksi pidana harus bisa memenuhi empat prinsip utama, yakni; sifat hukuman pidana yang berkaitan dengan justifikasi penghukuman, efektivitas penghukuman, efisiensi penghukuman dan pentingnya larangan moral. Artinya, hukuman pidana tidak hanya ditujukan untuk mengurung pelaku kejahatan di dalam sebuah ruangan dengan penjagaan ketat, karena memberi sanksi pidana berarti memberi kesempatan kepada seseorang untuk bertanggungjawab terhadap hal buruk yang telah diperbuat dan karenanya, segera memperbaiki diri.
Deradikalisasi yang diterapkan pemerintah Indonesia dalam menanggulangi terorisme merupakan bagian dari upaya pemenuhan terhadap empat prinsip penghukuman di atas. Sebagaimana dijelaskan oleh Petrus Golose (2010), deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal atau pro-kekerasan.
Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian terkait perilaku anti sosial, kekerasan, ekstrimisme dan radikalisme telah menjadi perhatian kalangan ilmu sains. salah satunya adalah Adrian Raine yang memulai kajian mengenai struktur otak dan sistem saraf dalam kaitannya dengan perilaku antisosial, residivis dan kejahatan. hasil penelitiannya tentang hubungan struktur otak dalam tubuh yang menjadi hakikat dari perilaku kriminal seseorang mencengangkan publik. Ia menemukan bahwa neurosains memiliki andil dalam menilai agresivitas, pola pikir individu dalam masyarakat dan kecenderungan untuk mengulangi perilaku jahat.
Pada prakteknya, deradikalisasi menjadi guide line dan pijakan semangat para penegak hukum untuk fokus pada upaya menghilangkan pemikiran radikal yang ada pada tiap napi terorisme. Program ini disambut positif oleh napi terorisme, temuan BNPT menyebut bahwa 85% napi terorisme memberi respon yang baik terhadap program ini. Angka keberhasilan program juga ditunjukkan dengan prosentase penetrasi program ke para napi. BNPT mencatat hanya 1/6 dari total napi terorisme yang kembali menjadi radikal usai mengikuti program deradikalisasi. Artinya, hanya ada 36 orang saja dari 500 napi yang kembali menjadi radikal. Angka ini tentu menunjukkan tren positif terkait efektivitas dan penetrasi program.
Tantangan yang kini terbentang di hadapan adalah selain penyiapan mental dan skill para napi terorisme untuk kembali ke masyarakat ketika mereka telah selesai menjalani masa hukuman di masa mendatang juga perlu mencari mekanisme terobosan dalam meninjau 1/6 tendensi residivime teroris ini.
Sebagai lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk melakukan program deradikalisasi, isu kekinian perlu juga diteliti lebih lanjut. Seperti pemonitoran neurosains pada napi teorris, misalnya. Jika pada nantinya hal tersebut gagal, proses menemukan kebaruan (novelty) telah dilakukan lembaga pemerintah. Adrianus Meliala (2016) menyebut bahwa terorisme adalah dangerous offender yang mudah kambuh. Karenanya pemerintah harus memastikan bahwa para eks napi terorisme bukan saja mendapat pembekalan ketrampilan yang mumpuni, tetapi menjamin mereka tidak melakukan pelanggaran yang sama.
Referensi:
_____ (2013).Blueprint Deradikalisasi. Jakarta: BNPT, (Naskah tidak diterbitkan)
Bagaric, M. (2001). Punishment and Sentencing: A Rational Approach. London: Cavendish Publishing Limited.
Dusak, I. W. (2016). “Strategi Penempatan Napi Tindak Pidana Terorisme sebagai Upaya Optimalisasi Program Pembinaan dan Deradikalisasi.”, dalam Rapat koordinasi Aparat Penegak Hukum Bandung, Jawa Barat, Indonesia. (bahan paparan, 17 Maret)
Golose, P. R. (2010). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Meliala, A. (2016) “Dangerous Offender and Pychopathology”, Materi Kuliah. (16 Desember). Departemen Kriminologi. FISIP, UI Depok, Jawa Barat.