Sukabumi – Radikalisme dan terorisme tak selalu datang dengan wajah
garang dan senjata. Dalam banyak kasus, ideologi ekstrem justru
merayap pelan, menyusup ke ruang-ruang pendidikan, komunitas agama,
hingga media sosial, tanpa disadari oleh korbannya sendiri.
Hal itu dikatakan mitra deradikalisasi Sofyan Tsauri saat menjadi
narasumber Dialog Kebangsaan bersama Organisasi Kemasyarakatan
Keagamaan Dalam Rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme di The
Bountie Hotel & Convention Center, Sukabumi, Kamis (12/6/2025).
Sofyan mengungkapkan bahwa satu hal yang kerap luput dari perhatian
masyarakat adalah bahwa mereka yang terpapar paham radikal biasanya
tidak menyadari bahwa mereka telah berada dalam jejaring tersebut.
Sebaliknya, mereka merasa sedang membela kebenaran, bahkan menganggap
diri paling suci dibandingkan yang lain.
“Awalnya tidak terlihat. Mereka hanya menganggap kelompok di luar
lingkarannya sesat, kemudian naik level dengan membid’ahkan, membenci,
lalu mengafirkan. Proses ini berjalan sistematis dan seringkali
dimulai sejak dini,” ujar mantan anggota Polri ini.
Menurutnya, salah satu jalur paling efektif penyebaran paham ekstrem
adalah melalui literatur. Banyak buku, ceramah, hingga konten daring
yang menanamkan kebencian secara terselubung, mengarahkan pembaca atau
pendengarnya untuk menjauhi toleransi dan meragukan keberagaman. Tak
jarang, anak-anak muda menjadi sasaran utama karena masih dalam proses
mencari jati diri dan keilmuan.
“Jangan sampai kita menyekolahkan anak menjadi hafidz, tapi kemudian
ia mengkafirkan orang tuanya sendiri karena pengaruh guru atau
lingkungannya,” katanya.
“Menjadi orang tua hari ini bukan hanya soal membiayai pendidikan,
tapi juga cerdas memilih tempat dan lingkungan belajar yang
mengajarkan nilai moderasi, bukan kebencian.”
Lebih lanjut Sofyan mengatakan, fenomena pemikiran takfiri—yaitu
mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan—nyata dan telah
menyusup dalam berbagai lapisan masyarakat. Ketika narasi ini
dibiarkan berkembang, akan lahir generasi yang mudah membenci dan siap
menerima doktrin kekerasan atas nama agama.
Ia menegaskan bahwa peran media sosial juga tak bisa dikesampingkan.
Di satu sisi, media sosial menjadi sumber informasi dan dakwah yang
luas. Namun di sisi lain, tanpa literasi digital yang baik, media
sosial dapat menjadi bumerang, tempat berkembangbiaknya narasi-narasi
ekstrem yang dikemas dengan bahasa agama, tampak ‘sejuk’, namun
mengandung benih intoleransi.
Karena itu, ia mengimbau masyarakat untuk lebih kritis terhadap konten
digital yang mereka konsumsi, serta lebih peduli pada proses tumbuh
kembang pemikiran anak-anak di rumah. Negara, ormas keagamaan, dan
lembaga pendidikan diminta lebih aktif mengembangkan narasi keagamaan
yang damai, toleran, dan cinta tanah air.
“Radikalisme tak pernah muncul tiba-tiba. Ia menyusup pelan, membentuk
pola pikir, lalu memutus hubungan kemanusiaan. Maka, kewaspadaan sejak
awal adalah langkah terbaik untuk menjaga masa depan Indonesia tetap
utuh dan damai,” tandas Sofyan Tsauri.