Proses Radikalisasi Miliki Dasar Psikologis Dalam Tiap Tahapannya

Depok – Ilmu psikologi sangat penting dalam penanganan masalah
terorisme. Pasalnya proses radikalisasi memiliki dasar psikologis
dalam setiap tahapannya.

Hal itu dikatakan Guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Mirra Noor Milla dalam upacara pengukuhannya sebagai Guru
Besar Fakultas Psikologi UI di Balai Sidang UI, Depok, Jawa Barat,
Sabtu (16/12/2023). Ia mengatakan soal pentingnya ilmu psikologi
sosial dalam memahami tindakan terorisme.

“Proses radikalisasi ini juga ditunjukkan memiliki dasar psikologis
dalam setiap tahapannya,” kata Mirra Noor.

Tahapan itu, katanya, melalui proses yang dimotivasi oleh kebutuhan
mendapatkan signifikansi diri melalui transformasi identitas, kemudian
dikuatkan dalam proses kelompok untuk melayani tujuan tunggal
pemenuhan makna diri dan kelompoknya.

Menurut Prof. Mirra, terorisme merupakan fenomena yang kompleks dan
memerlukan pemahaman lintas disiplin ilmu, termasuk di dalamnya ilmu
psikologi, khususnya psikologi sosial.

Ilmu ini menyajikan suatu
kerangka analisis, baik pada tingkat individu maupun kelompok, untuk
menjelaskan mengapa dan bagaimana individu terlibat dalam tindakan
terorisme. Banyak ahli ilmu sosial menggambarkan terorisme sebagai
suatu proses bertahap radikalisasi.

Dalam menjelaskan radikalisasi, tambah Prof. Mirra, terdapat tiga
komponen, yaitu kebutuhan yang memotivasi individu, narasi ideologi
yang menjustifikasi, dan kelompok atau jejaring sosial yang
memvalidasi.

Penjelasan tahapan radikalisasi perlu ditinjau kembali dalam
menjelaskan radikalisasi daring, mengingat pada era informasi digital,
proses radikalisasi menjadi lebih cepat dan mencakup kelompok individu
yang semakin beragam.

Oleh karena itu, lanjut Prof. Mirra, penjelasan faktor personal
memiliki relevansi untuk memahami secara lebih baik bagaimana
radikalisasi terjadi saat peran kelompok terbatas.

“Untuk itu, memahami proses radikalisasi adalah kunci untuk merinci
kemungkinan jalur deradikalisasi yang dapat diambil,” tambahnya.

Ia menambahkan evaluasi efektivitas program rehabilitasi teroris di
berbagai negara menunjukkan keragaman dan belum mencapai kesimpulan
yang pasti. Tantangan utamanya terletak pada sifat keyakinan ideologi
ekstrem yang sulit untuk diubah.

Walaupun demikian, beberapa program telah menunjukkan kemajuan dan
potensi keberhasilan. Kombinasi antara program kontra-ideologi dan
program dukungan psikologi adalah yang paling menjanjikan hingga saat
ini.

Menurutmya, kesulitan dalam menggeser atau mengubah keyakinan ekstrem
yang termotivasi mengarahkan pada relevansi upaya prevensi, yaitu
dengan memutus mata rantai radikalisasi bagi individu yang rentan
sebelum terpapar dan terlibat dalam tindakan kekerasan ekstrem.

“Selain itu, dengan memperkuat ketahanan individu terhadap propaganda
ekstremisme dan radikalisme,” ujarnya.

P

ada tingkat komunitas, pencegahannya dapat diwujudkan melalui upaya
menghindari polarisasi antarkelompok, mengingat masyarakat yang
terpolarisasi dapat menyuburkan penyebaran narasi ekstrem dan menjadi
potensi risiko bagi individu yang rentan.