Mengawali tahun 2017 Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan yang meminta seluruh aparatur penegak hukum untuk fokus terhadap perkembangan informasi di dunia maya. Dalam sambutannya, Presiden menyatakan bahwa penegakan hukum harus tegas dan keras terhadap media-media online yang sengaja memproduksi berita-berita bohong tanpa sumber yang jelas, judul provokatif, dan mengandung fitnah (Hoax).
Tentu ini merupakan sebuah dilema dalam proses demokrasi kita, utamanya ketika ruang kebebasan dibuka dan semua orang memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya. Dalam konteks ini, meningkatnya fasilitas teknologi Informasi kerap dituding sebagai salah satu faktor utama dalam menyebarnya informasi yang tampak nyaris tanpa kendali. Konon, informasi yang ada di dunia maya terlalu cepat disebar, bahkan sebelum informasi tersebut dipahami isinya.
Bagi sebagian orang, mereka hanya butuh untuk copy-paste isi suatu berita untuk sejurus kemudian, langsung menyebarkannya. Sayangnya, hasrat untuk menyebar berita yang belum pasti kebenarannya ini kerap kali tidak dibarengi dengan usaha untuk sekedar membaca dan memahami isinya. Sebar dulu, bacanya di lain waktu.
Like it or not, salah satu virus mengerikan yang kini menjangkit dunia maya adalah menyebarnya berita-berita kaegori hoax. Dalam artian yang paling umur, hoax diartikan sebagai sebuah tipuan dan kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran. Dari sisi etimologi, kata “hoax” berasal dari terma “hocus pocus” dalam bahasa latin “hoc est corpus” yang berarti “ini adalah tubuh”. Terma ini awalnya digunakan oleh penyihir untuk mengklaim kebenaran, padahal sebenarnya mereka sedang berdusta.
Hocus digunakan dalam bentuk sihir atau mantra para penyihir dan pesulap jaman dahulu. Kata “hoax” sendiri didefinisikan sebagai tipuan. Istilah ini berasal dari penjelasan Thomas Ady dalam bukunya “Candle in the Dark” (1656). Dalam perkembangannya, istilah hoax biasa digunakan untuk menyebut berita palsu, legenda urban, rumor dan kebohongan yang menipu. Pada dasarnya hoax diciptakan untuk menipu banyak orang dengan cara merekayasa sebuah berita agar terkesan menjadi laiknya sebuah kebenaran.
Karenanya tidak berlebihan untuk menyebut bahwa hoax memang laiknya sihir, karena jika berita hanya diterima tanpa dicerna terlebih dahulu, bisa jadi pembaca berita justru akan tertipu. Apa yang dikira fakta nyatanya hanyalah tumpukan kebohongan belaka.
Dalam konteks radikalisme di dunia maya, hoax tidak hanya berisi kebohongan, tetapi juga pemberitaan yang telah di-framing sesuai dengan kepentingan dan gagasan kelompok radikal. Sehingga pemberitaan-pemberitaan yang disebar selalu mengarah pada pembenaran paham kekerasan khas kelompok radikal. Dalam situasi inilah, apa yang dilakukan kelompok maya –dengan mem-framing pemberitaan—disebut sebagai Propaganda.
Sejarah mencatat bahwa propaganda, yang berisi kebohongan, mulai massif digunakan sejak era Nazi di abad 19. Salah satu petinggi Nazi, Jozef Goebbels, bahkan mengatakan: “Sebarkan kebohongan secara berulang-ulang kepada publik; kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya.” Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja, bukan kebohongan seluruhnya.
Karenanya, informasi yang berseliweran di dunia maya tidak sepatutnya diterima begitu saja tanpa dicerna secara cerdas terlebih dahulu. Berikut adalah empat langkah yang perlu dilakukan ketika menerima informasi:
- Kritis dan skeptic terhadap informasi yang diterima; jangan langsung percaya
- Periksa validitas dan kredibilitas sumber beritanya.
- Periksa kontennya dan bandingkan dengan sumber-sumber lainya
- Diskusikan konten tersebut dengan orang terdekat, komunitas dan (jika memungkinkan) para ahli
Ayo Cerdas di Dunia Maya, Bijak Menebar Informasi.